Miskonsepsi Lone Wolf Dalam Aksi Terorisme Terkait Teroris Wanita Beraksi Sendirian
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 26 Oktober 2022 07:50 WIB
ORBITINDONESIA - Tahun 2016, seorang wanita mantan buruh migran Indonesia yang pernah bekerja di Taiwan ditangkap dan selanjutnya divonis dalam kasus terorisme karena berencana menyerang Istana Negara.
Hari ini, seorang wanita bercadar ditangkap di seputaran Istana Negara karena memasuki wilayah steril dengan membawa senjata genggam yang diduga sebagai senjata api.
Tahun 2021 lalu, seorang wanita bercadar yang menerobos Mabes Polri dengan membawa senjata genggam juga ditembak mati.
Baca Juga: Contoh Naskah Khutbah Jumat Tema Hari Sumpah Pemuda, Penuh Nasihat kepada Generasi Muda
Publik lantas melabel kejadian-kejadian ini dengan istilah yang sering dikenal yaitu "Lone Wolf". Lone Wolf adalah sebuah istilah ketika terjadinya aksi teror yang hanya dilakukan oleh satu orang saja, dan berbeda dengan aksi-aksi teror lainnya yang dilakukan oleh lebih dari satu orang.
Bagi publik, lone wolf adalah orang-orang yang secara sadar, dan tanpa didukung oleh kelompoknya, mengambil inisiatif sendiri dalam rencana, dan pelaksanaan sebuah aksi teror.
Menurut saya, ada miskonsepsi yang berbahaya dalam penggunaan istilah, dan atau persepsi tentang 'Lone Wolf' dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme.
Pengalaman penunjukkan bahwa aksi teror, apakah dilakukan oleh satu orang, atau oleh lebih dari satu orang, selalu telah melewati beberapa fase.
Baca Juga: Bersama Rekan Artis, Penampilan Lesti Kejora Jadi Sorotan
Fase pertama adalah fase radikalisme. Seseorang yang sedang 'kehilangan kompas moral' kemudian dieksploitasi dengan narasi dan teks yang membuatnya merasa, dan percaya sepenuhnya bahwa kekerasan adalah solusi satu-satunya terhadap masalah yang sedang dia hadapi.
Ini adalah proses yang dikenal sebagai 'radikalisme'.
Akan tetapi, seseorang yang radikal tidak lantas mampu untuk melakukan aksi teror, jika dia tidak berada dalam 'keluarga' alias jaringan yang mendorong, mendukung bahkan memberikan janji pemujaan yang setinggi-tingginya, jika dia bersedia dan siap melakukan aksi teror.
Dalam fase ini saja sudah terlihat bahwa seorang calon teroris sudah pasti akan bersentuhan dengan orang lain, baik orang yang membimbing dia menjadi radikal, maupun orang yang memberikan penghargaan jika dia siap untuk melakukan aksi teror.
Baca Juga: Dicibir dan Dihina Perempuan Lansia, Lesti Kejora Justru Tanggapi Hal Ini
Fase kedua adalah fase persiapan aksi. Dalam fase ini, seorang calon pelaku aksi teror tidak akan berada dalam isolasi.
Dia pasti akan berinterkasi dengan orang lain dalam pemilihan sasaran, dalam persiapan alat-alat untuk melakukan aksi teror, bahkan dalam penyediaan tempat persiapan sebelum aksi teror dilakukan.
Ini adalah jejaring logistik yang tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja.
Oleh karena itu maka saya selalu menekankan bahwa dalam aksi teror, tidak ada yang namanya 'Lone Wolf', bahkan, pemakaian istilah 'lone wolf' dalam aksi teror hanya mereduksi keberadaan jaringan kelompok teror.
Baca Juga: Ditahan di Kejari Serang, Nikita Mirzani Pernah Disebut Kebal Hukum
Pertanyaannya: kenapa perempuan bercadar hari ini, maupun yang tewas di Mabes polri melakukannya sendiri?
Jawabannya simple: Aksi teror itu sebuah investasi dari kelompok teror.
Jika bisa meyakinkan satu orang untuk melakukan sebuah aksi teror, kenapa harus memakai dua orang atau lebih dengan resiko lebih banyak orang dalam jaringan kelompok teror tersebut yang ditangkap?
Jadi, sebaiknya hindari pemakaian istilah 'lone wolf' dalam aksi teror yang dilakukan oleh satu orang, karena di balik satu orang, ada kelompok jaringan yang sedang berupaya untuk merobek-robek keutuhan Bangsa dan Negara ini.
(Dikutip anonim dari medsos)***