Malinowitz Membedah Propaganda Zionis Israel untuk Membentuk Persepsi Global Sambil Terus Melanggar HAM

Harriet Malinowitz. Selling Israel: Zionism, Propaganda, and the Uses of Hasbara. Penerbit: Olive Branch Press, 2025. Tebal: 320 halaman.

ORBITINDONESIA.COM - Selling Israel: Zionism, Propaganda, and the Uses of Hasbara adalah kajian yang mengungkap bagaimana Israel dengan terampil menggunakan propaganda untuk membentuk persepsi global, membenarkan kebijakannya, dan mempertahankan dukungan Barat, meskipun terus melakukan pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia.

Sejak awal mulanya di akhir abad ke-19, Zionisme berupaya menyatukan populasi Yahudi yang terpecah di bawah visi nasionalis. Namun, mencapai tujuan ini membutuhkan lebih dari sekadar manuver politik—ia membutuhkan narasi yang menarik.

Baik itu membujuk kekuatan dunia untuk mendukung pembentukan negara, menggalang orang Yahudi untuk mendanai dan mengisi negara baru tersebut, atau mencitrakan Israel sebagai mercusuar demokrasi sambil menekan perlawanan Palestina, proyek Zionis selalu bergantung pada pesan yang dirancang dengan cermat.

Penulis Harriet Malinowitz, seorang profesor bahasa Inggris yang telah pensiun dan berspesialisasi dalam penulisan, retorika, studi Palestina, dan studi gender dan seksualitas, menghadirkan lensa analitis yang tajam pada aparatus hubungan masyarakat Israel yang kuat.

Sebagai pembela hak-hak Palestina sejak lama dan anggota Jewish Voice for Peace, Malinowitz memanfaatkan riset dan aktivismenya yang luas untuk mengungkap metode hasbara—jaringan propaganda Israel yang luas yang mencakup kementerian pemerintah, LSM, media, dan lembaga akademis.

Ia mengeksplorasi penggunaan "pencitraan nasional", "kekuatan lunak", "greenwashing", "pinkwashing", dan pengaruh digital untuk mempertahankan citra global Israel sebagai demokrasi yang terkepung, bukan sebagai penjajah kolonial.

Penipuan Mnjadi Doktrin

Dengan latar belakang yang kaya dalam analisis wacana kritis dan sejarah penerbitan di media seperti Mondoweiss, Slate, dan The Women’s Review of Books, Malinowitz menawarkan kritik yang teliti dan tajam tentang bagaimana Zionisme telah mengubah penipuan menjadi doktrin.

Selling Israel adalah bacaan penting bagi siapa pun yang ingin memahami strategi propaganda yang berakar dalam di balik salah satu konflik paling diperebutkan di dunia.

Buku ini merupakan sebuah kajian kritis yang tajam tentang bagaimana negara Israel—sejak sebelum berdirinya hingga era kontemporer—membangun, memelihara, dan mengekspor citra dirinya ke dunia internasional melalui praktik propaganda yang terstruktur dan sistematis.

Malinowitz tidak menulis dari posisi netral-dingin akademik semata, melainkan dari kesadaran bahwa bahasa, narasi, dan representasi memiliki daya politik yang nyata, terutama dalam konflik kolonial yang berkepanjangan seperti Palestina–Israel.

Sejak halaman-halaman awal, buku ini menegaskan tesis utamanya: Israel tidak hanya dipertahankan dengan kekuatan militer, tetapi juga dijual sebagai produk ideologis. Dalam konteks inilah konsep hasbara—istilah Ibrani yang berarti “penjelasan”—menjadi pusat analisis.

Malinowitz menunjukkan bahwa hasbara bukan sekadar aktivitas komunikasi publik biasa, melainkan sebuah arsitektur narasi yang dirancang untuk membingkai Israel sebagai negara demokratis, modern, rasional, dan selalu berada dalam posisi defensif, sementara secara simultan mengaburkan, menormalisasi, atau membenarkan praktik kolonisasi, pendudukan, dan kekerasan struktural terhadap rakyat Palestina.

Akar Historis

Bagian awal buku menelusuri akar historis propaganda Zionis jauh sebelum 1948. Malinowitz mengurai bagaimana gerakan Zionisme sejak awal menyadari pentingnya opini publik Barat, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat.

Palestina direpresentasikan sebagai “tanah kosong”, “tanah tanpa bangsa”, atau wilayah terbelakang yang menunggu dimodernisasi. Dalam narasi ini, keberadaan bangsa Palestina dipinggirkan atau dihapus sama sekali. Penulis menekankan bahwa ini bukan sekadar kesalahan persepsi, melainkan strategi diskursif kolonial klasik, di mana penghapusan subjek pribumi menjadi prasyarat moral bagi kolonisasi.

Memasuki periode pasca-pendirian Israel, buku ini memperlihatkan bagaimana hasbara berevolusi seiring perubahan konteks geopolitik. Malinowitz mengkaji bagaimana trauma Holocaust ditempatkan sebagai fondasi moral negara Israel, bukan hanya sebagai ingatan historis, tetapi sebagai modal politik.

Kritik terhadap Israel kerap diposisikan sebagai ancaman eksistensial, bahkan disamakan dengan antisemitisme. Dengan cara ini, batas antara kritik kebijakan negara dan kebencian etnis atau agama sengaja dikaburkan, menciptakan efek membungkam diskursus kritis, terutama di ruang publik Barat.

Menyamarkan Relasi Kuasa yang Timpang

Salah satu kekuatan utama buku ini terletak pada analisis bahasa dan retorika. Malinowitz membedah istilah-istilah kunci yang berulang dalam hasbara: “keamanan”, “hak membela diri”, “konflik”, “sengketa”, dan “kedua belah pihak”.

Ia menunjukkan bagaimana bahasa netral semu ini berfungsi menyamarkan relasi kuasa yang timpang antara negara pendudukan dan rakyat yang diduduki. Pendudukan militer dipresentasikan sebagai situasi konflik simetris, sementara kolonisasi dan blokade direduksi menjadi respons keamanan yang tak terelakkan.

Dalam bab-bab berikutnya, Malinowitz mengulas hasbara di era media modern dan globalisasi. Ia menyoroti peran juru bicara resmi negara, diplomat, think tank, organisasi pro-Israel di diaspora, hingga aktivisme digital yang terkoordinasi. Hasbara tidak lagi bekerja hanya melalui pernyataan pemerintah, tetapi melalui influencer, akademisi, kampanye budaya, dan bahkan program pertukaran pelajar.

Israel dijual sebagai “startup nation”, pusat inovasi teknologi, surga bagi komunitas LGBTQ+, dan benteng nilai-nilai liberal di Timur Tengah. Citra progresif ini, menurut Malinowitz, berfungsi sebagai lapisan kosmetik yang menutupi realitas apartheid, pendudukan, dan pembersihan etnis yang terus berlangsung.

Buku ini juga memberi perhatian khusus pada medan kampus dan dunia akademik. Malinowitz, yang memiliki latar belakang studi budaya dan sastra, menunjukkan bagaimana universitas menjadi arena penting pertarungan narasi.

Membongkar Narasi Dominan

Ia mengulas upaya sistematis untuk menekan gerakan solidaritas Palestina, membatasi kebebasan akademik, serta mendeligitimasi kajian kritis terhadap Zionisme dengan tuduhan politisasi atau kebencian. Dalam kerangka ini, hasbara tampil bukan sebagai debat terbuka, melainkan sebagai mekanisme kontrol wacana.

Menjelang akhir buku, Selling Israel bergerak dari deskripsi menuju refleksi etis dan politik. Malinowitz mengajak pembaca untuk menyadari bahwa propaganda modern jarang tampil sebagai kebohongan telanjang. Ia lebih sering hadir dalam bentuk seleksi fakta, penghilangan konteks, dan pengulangan narasi yang tampak masuk akal. Dalam kasus Israel, keberhasilan hasbara terletak pada kemampuannya membingkai ketidakadilan struktural sebagai sesuatu yang normal, kompleks, dan tak terhindarkan.

Sebagai penutup, buku ini tidak menawarkan solusi sederhana atas konflik Palestina–Israel. Namun, ia menegaskan satu hal penting: tanpa membongkar narasi dominan, keadilan politik hampir mustahil dicapai. Dengan membedah cara Israel “dijual” ke dunia, Harriet Malinowitz mengajak pembaca untuk menjadi konsumen informasi yang lebih kritis—menyadari bahwa dalam konflik modern, perang tidak hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di bahasa, citra, dan imajinasi publik global.

Dalam konteks saat ini, Selling Israel terasa semakin relevan. Ia bukan sekadar buku tentang propaganda Israel, melainkan juga tentang bagaimana kekuasaan bekerja melalui cerita—dan bagaimana membongkar cerita itu menjadi langkah awal menuju kebenaran dan keadilan.

(Oleh Satrio Arismunandar, penulis dan wartawan)