Puisi Esai Denny JA: Tiga Prajurit Itu pun Hilang

Sebuah Puisi Esai Tentang Bencana Sumatra dan Problem Ekologis

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - (Kisah di bawah ini adalah fiksi, tapi diinspirasi oleh gugurnya tiga prajurit TNI yang bertugas membantu bencana Sumatra) (1)

-000-

Nama perempuan itu Ani.  
Pagi masih basah oleh embun  
ketika kabar itu datang  
menjadi paku berkarat  
dipalu pelan ke jantung hatinya.

“Suami Ibu  
hilang dalam tugas.”

Kata “hilang”  jatuh ke lantai,  
retaknya merambat ke dinding,  
ke kaca foto keluarga  
yang tiba-tiba terlalu penuh  
oleh orang-orang  
yang tak sempat menjadi tua.

-000-

Ani duduk, terpana.
Semalaman ia tak bicara.

Jam dinding berdetak  
bagai barisan sepatu  
yang salah hitung langkah:  
terus maju,  
tapi tak pernah sampai ke pintu.

Di meja,  
cangkir kopi suaminya  
masih menyisakan jejak bibir,  
seolah ia hanya keluar sebentar,  
bukan ditelan peta bencana.

Ia tentara.  
Berangkat bukan untuk perang,  
melainkan untuk kemanusiaan.  
Namun hujan  
tak pernah menandatangani perjanjian.

Dan langit  
tak mengenal kata “gencatan”.

-000-

Di Sumatra,  
hujan turun sebagai palu raksasa  
yang memukul bukit  
sampai lupa cara berdiri.  

Hutan yang dulu  
mengikat tanah dengan doa akar, 
sudah lama ditebang.

Di meja rapat dan stempel kantor;  
izin-izin tumbuh lebih cepat  
daripada pohon belajar teduh.  

Maka ketika hujan datang,  
bumi kehilangan tangan  
untuk memegang dirinya sendiri.

-000-

Hari-hari berlalu  
tanpa kabar pasti.  
Kata “hilang”  
menjadi bayangan  
yang tidur di sudut rumah Ani,  
menyusup ke piring,  
mengintip dari gagang pintu.

Televisi menyala.  
Wajah serius, grafik, slogan:  
“Pemerintah bekerja.”  

Di luar layar,  
kata-kata publik mengalir deras:  
“pemerintah lambat,  
kurang sigap,  
tak cukup serius,”
seperti air di atap seng  
yang tak tahu  
ke mana seharusnya pulang.

“Kurang serius?”  
Ani menggigit kata itu  
seperti biji pahit   yang tak tahu  
harus diludahkan ke mana.  

Suaminya berangkat dengan tubuh utuh  
dan kembali dalam peti yang senyap;  
jika itu masih disebut  
kurang serius,  
apa nama   untuk nyawa  
yang tak sempat mengetuk  
pintu pulangnya sendiri?

-000-

Di medan bencana,  
suaminya melawan lumpur  
yang bergerak bagai makhluk hidup:  
binatang buta  
yang menelan nama dan pangkat  
dalam satu suap keruh.

Pangkat tak bercahaya di bawah hujan,  
nama tak dibedakan oleh arus.  

Di hadapan longsor,  
manusia dilucuti  
hingga tinggal keberanian  
yang tak pandai berenang,  
namun tetap melompat  
demi menarik satu tangan lagi  
keluar dari gelap.

-000-

Ketika jasad ditemukan,  
Ani terdiam  
menjadi tanah  
yang baru kehilangan bukit.  

Kata “gugur”  
diucapkan resmi, rapi,  
bagai map yang ditutup pelan  
di atas meja upacara.  

Di rumah Ani,  
kata itu berarti:  
tak pulang;  
kursi kosong di meja makan;  
seragam lipat  
yang tak lagi punya bahu.

-000-

Negara berpidato,  
bendera dilipat sempurna,  
trompet meniup doa hafalan.  

Nama suaminya lewat sebentar  
di layar berita,  
lalu tenggelam  
di antara grafik dan iklan deterjen.

Namun duka tak mengenal arsip.  
Ia datang tiap malam,  
duduk di kursi yang sama,  
mengubah suara hujan  
menjadi langkah sepatu basah  
yang selalu berhenti  
tepat di depan pintu  
tanpa pernah mengetuk.

-000-

Di luar rumah Ani,  
perdebatan tak selesai:  
siapa lambat,  
siapa lalai,  
siapa menandatangani  
kontrak yang membuat bukit pincang?

Di gedung tinggi,  
slide demi slide berganti;
kurva, anggaran, prosedur;  
nama suaminya  
mengecil jadi angka kaki halaman.  

Sementara itu,  
peta digambar ulang  
di atas hutan yang belum menua;  
akar digadaikan  
demi selembar izin baru,  
dan bumi diam-diam  
menyiapkan hujan berikutnya.

-000-

Tiga prajurit itu pun hilang.
Bukan hanya dari tugas,
melainkan dari masa depan
yang mereka tata pelan
di ujung meja makan:
nama anak,
cicilan rumah,
hari tua di kota kecil
yang mereka kira
tak punya longsor.

Ani berdiri di depan seragam itu,
seperti berdiri di hadapan bumi
yang baru saja kehilangan
cara mencintai manusia.

Ia akhirnya mengerti:
bencana bukan sekadar
hujan yang jatuh
atau tanah yang bergerak,
melainkan jarak yang kita ciptakan
antara hidup
dan bumi yang menghidupi.

Ketika hutan diperlakukan
sebagai angka,
ketika akar ditukar izin,
ketika bukit dinilai
lebih murah dari suara air, 
bumi belajar bicara
dengan bahasa yang paling keras.

Maka jika kita ingin
tak lagi menghitung
nama di peti mati,
kita harus belajar
mencintai bumi
bukan setelah ia marah,
melainkan saat ia
masih diam.

Karena hujan
tak pernah berniat membunuh.
Ia hanya datang
mengingatkan:
tanah yang tak kita jaga
akan berhenti
menjaga kita.*

Jakarta, 22 Desember 2025

CATATAN

(1) Tiga prajurit gugur dalam tugas membantu bencana Sumatra

Total 3 Prajurit TNI Gugur Saat Evakuasi Korban Banjir dan Tanah Longsor di Sumbar

-000-
Berbagai puisi esai dan ratusan  esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1DfnGPhwB3/?mibextid=wwXIfr