Per Akhir November 2025, APBN Mencatat Defisit Rp 560,3 Triliun, Setara 2,35% PDB.

ORBITINDONESIA.COM - Per 30 November 2025, APBN mencatat defisit Rp 560,3 triliun, setara 2,35% PDB. Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, keseimbangan primer juga defisit Rp 82,2 triliun.

Penerimaan negara tercatat Rp 2.351 triliun, atau 82,1% dari outlook 2025, yakni dari pajak Rp 1.634,4 triliun, kepabeanan dan cukai Rp 269,4 triliun, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 444,9 triliun.

Sementara belanja sebesar Rp 2.911 triliun, setara 82,5% dari outlook, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp 2.116,2 triliun dan transfer ke daerah Rp 795,6 triliun. Wamenkeu Suahasil Nazara menambahkan, per November pemerintah menarik utang baru Rp 614,9 triliun, setara 84,06% dari outlook.

Realisasi belanja pemerintah daerah (Pemda) hingga 30 November 2025 tercatat Rp 922,5 triliun, atau 65,3% dari pagu APBD. Dibandingkan belanja Oktober yang sebesar Rp 808,5 triliun, belanja Pemda ini meningkat signifikan, Rp 114 triliun dalam satu bulan.

Angka ini, menurut Wamenkeu Suahasil Nazara, bahkan lebih tinggi dibandingkan transfer ke daerah selama November yang sebesar Rp 82 triliun. Peningkatan belanja tersebut berdampak pada penurunan saldo kas pemerintah daerah di perbankan. Pada akhir Oktober saldo kas pemda tercatat Rp 230,1 triliun, sementara pada November menjadi Rp 218,2 triliun.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, PP No. 49/2025 tentang Pengupahan akan mempengaruhi pertumbuhan sektor industri pengolahan nonmigas yang sangat sensitif terhadap pengupahan.

Peningkatan upah yang menaikkan biaya tenaga kerja secara struktural akan berisiko menekan laju pertumbuhan output, khususnya di subsektor padat karya. Sementara, ketidakpastian akibat seringnya perubahan kebijakan pengupahan berpotensi menahan realisasi investasi baru di sektor nonmigas.

Di sisi lain, kebijakan ini berpotensi mendorong pertumbuhan dari sisi permintaan melalui peningkatan daya beli pekerja. Namun, efeknya cenderung bertahap dan tidak langsung. Sementara dampak kenaikan biaya produksi lebih cepat dan langsung dirasakan pelaku industri.

Secara keseluruhan, kata Saleh, PP No. 49/2025 berpotensi menimbulkan trade-off antara perlindungan pendapatan pekerja dan percepatan pertumbuhan industri pengolahan nonmigas. PP No. 49/2025 menetapkan formula kenaikan upah 2026 dengan rumus Inflasi + (Pertumbuhan Ekonomi x Alfa), dengan indeks alfa di rentang 0,5-0,9. ***