Cerita Mini Didin Tulus : Pagar Waktu

Pipa-pipa besi itu berdiri bagai prajurit tua berkarat, membentang memagari dua kelopak matamu. Di balik celah-celahnya, kau menatap jauh, menyisir semak belukar hutan warisan dengan pandangan yang lebih tajam daripada parang nenek moyang. Hutan itu hidup, masih berdenyut dengan desir angin dan kicauan yang tersisa, tetapi bagimu, ia telah menjadi puing kenangan. Pipa-pipa itu adalah pembatas yang angkuh, garisan tegas antara kini yang terdengar gemuruh mesin, dan yang telah lalu yang masih berbisik dari balik dedaunan.

“Dulu,” katamu suatu sore, suaramu serak oleh asap dan diam, “suara pertama yang ku dengar di pagi hari adalah panggilan burung ruai. Bukan dentuman itu.” Jarimu yang berotot menunjuk ke arah ufuk, di mana kilang minyak berdiri megah, menyemburkan api yang tak pernah padam. Lidah-lidah jingganya menjilat langit, membakar cahaya senja, melahap kemerahan yang dulu kan kau sambut di tepian sungai dengan panah terpasang.

“Api itu membakar lebih dari minyak bumi, Nenek,” bisikku, mengikut tatapanmu yang kosong.
“Ia membakar cahaya yang hilang,” gumammu pelan. “Cahaya di mata ayahmu saat ia membawa pulang rusa pertama. Cahaya di tangan ibumu meracik akar-akar. Sekarang… mengapa wajah-wajah mereka tiada di sana?” Suaramu pecah. Sebutir air mata, langka dan berharga bagai mutiara terakhir, menetes, membasahi kalbu yang telah menjadi dukacita tunggal. Waktu, di matamu, perlahan-lahan redup menjadi abu, tertiup angin panas dari arah kilang.

Keesokan harinya, kau menghilang. Pintu pondok kayu terbuka lebar, menghadap langsung ke pagar pipa besi itu. Aku mencari, menerobos pagar itu, masuk ke dalam rimba yang semakin menyusut.

“Dan kemanakah kau?”

Hutan menjawab dengan senyap yang memilukan. Yang tersisa hanyalah kebun-kebun sawit monokrom, barisan rapi bagai nisan di tanah rawa yang mengering. Di kejauhan, asap membubung. Hutan rawa warisan itu terbakar, dikorbankan untuk perluasan lahan. Aku berlari, terengah, memanggil namu. Jejak kakimu tiada. Kehidupan seolah telah menguap dari tempat ini.

Hanya darah beku di atas rumput kering kutemu.

Sebongkah kecil, hitam pekat, menempel pada ilalang yang layu. Bukan darah rusa atau babi hutan. Aku tahu. Ini darah dari kaki kananmu yang pernah terluka oleh jerat logam modern dua tahun silam. Darah itu membeku cepat, terpanggang oleh kepanasan udara yang menyengat. Aku berlutut, menyentuhnya. Dingin dan keras, seperti besi pagar itu, seperti hati para perambah yang tak peduli.

Di balik kepulan asap kebakaran hutan, pipa-pipa besi itu tetap berdiri, membelai langit dengan garis-garisnya yang keras. Mereka bukan lagi sekadar pagar fisik. Mereka telah menjadi nisan raksasa, menandai kuburan massal sebuah zaman. Zaman di mana matamu yang seperti kelopak itu masih memantulkan cahaya hutan, bukan nyala api kilang. Zaman di mana jejak kaki meninggalkan cerita, bukan hanya darah beku di padang rumput kering.

Dan aku di sini, terjepit di antara dua dunia yang tak lagi utuh, memegang artefak terakhir dari kepergianmu: tetesan kehidupan yang telah berubah menjadi fosil kesedihan, di tanah yang bahkan tak lagi mau menyimpan abu waktu.

Penulis: Didin Tulus

Seorang penulis, penggiat buku, dan editor asal Bandung yang aktif berkontribusi di berbagai media, terutama menulis tentang literasi, budaya, dan pengalaman pribadinya, sering kali berfokus pada isu-isu di sekitar Cimahi dan Jawa Barat, serta terlibat dalam dunia penerbitan seperti di CV. Tulus Pustaka. Ia dikenal dengan tulisan-tulisan reflektif dan memoarnya, serta memiliki latar belakang pendidikan di bidang hukum dan seni rupa,.