Merespons Genosida oleh Israel di Gaza, Malaysia Ciptakan Ahmad’s Fried Chicken yang Didirikan Pengusaha Lokal
ORBITINDONESIA.COM - Ketika banyak negara merespons perang Gaza dengan seruan boikot, Malaysia melangkah lebih jauh. Negeri jiran itu tidak hanya menolak merek global tertentu, tetapi juga membangun alternatifnya sendiri. Dari situ lahir sebuah kisah menarik tentang bagaimana solidaritas politik dan moral dapat bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi nyata.
Di tengah meningkatnya kemarahan publik atas perang di Gaza dan dukungan Amerika Serikat terhadap Israel, muncul Ahmad’s Fried Chicken (AFC), jaringan ayam goreng lokal yang didirikan oleh pengusaha Malaysia, Lailatul Sarahjana Mohd Ismail. AFC hadir sebagai jawaban atas keresahan konsumen yang ingin tetap menikmati produk sejenis ayam goreng cepat saji tanpa harus bergantung pada merek global yang diasosiasikan dengan kepentingan politik tertentu.
Awalnya, AFC hanyalah usaha kecil. Namun, gelombang solidaritas terhadap Palestina mendorong perubahan besar dalam pola konsumsi masyarakat Malaysia.
Konsumen mulai secara sadar meninggalkan merek internasional dan beralih ke produk lokal yang mereka anggap lebih sejalan dengan nilai moral dan keberpihakan kemanusiaan. Dalam waktu singkat, Ahmad’s Fried Chicken berkembang pesat hingga memiliki 35 gerai di berbagai wilayah Malaysia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa boikot di Malaysia tidak berhenti sebagai ekspresi emosional sesaat, melainkan menjelma menjadi pola konsumsi baru.
Pilihan makanan kini bukan sekadar soal rasa dan harga, tetapi juga pernyataan sikap. Membeli produk lokal dipahami sebagai bentuk solidaritas, sementara menghindari merek global menjadi simbol penolakan terhadap dominasi ekonomi-politik asing.
Perubahan ini tampak semakin menguat dan bersifat jangka panjang. Selain Ahmad’s Fried Chicken, jaringan lokal lain seperti Zus Coffee juga mengalami ekspansi cepat. Lanskap industri makanan dan minuman Malaysia pun mulai berubah, dengan merek-merek dalam negeri tampil lebih percaya diri, agresif, dan kompetitif.
Apa yang terjadi di Malaysia mencerminkan bentuk baru nasionalisme ekonomi berbasis kesadaran konsumen. Tanpa regulasi ketat atau kampanye negara, masyarakat secara kolektif mengarahkan pasar melalui pilihan sehari-hari. Globalisasi tidak ditolak sepenuhnya, tetapi diseleksi. Konsumen tidak lagi pasif, melainkan berdaulat atas nilai yang mereka dukung.
Kisah Ahmad’s Fried Chicken memperlihatkan bahwa solidaritas terhadap Gaza tidak hanya hidup dalam slogan dan aksi protes, tetapi juga hadir di meja makan. Dari ayam goreng hingga secangkir kopi, pilihan sederhana berubah menjadi bagian dari narasi perlawanan yang sunyi namun berkelanjutan—narasi tentang kemandirian, keberpihakan, dan dunia yang sedang mencari arah baru.***