Catatan Denny JA: Cinta Sang Jenius yang Tak Sampai

Phantom of tha Opera di Paris

CINTA SANG JENIUS YANG TAK SAMPAI

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Ada kisah cinta yang tumbuh secara alami. Ada kisah cinta yang tumbuh dari luka. Phantom of the Opera termasuk yang kedua.

Ini adalah kisah tentang seorang jenius yang haus kasih sayang, namun tak pernah benar-benar memilikinya.

Ia mencintai, tetapi cintanya tidak sampai. Ia jenius, tetapi kejeniusan itu menjadi penjara bagi hidupnya sendiri.

Gagasan utama naskah ini sederhana. Bahwa manusia bisa sangat mempesona sekaligus sangat hancur pada saat yang sama.

Bahwa keindahan seni dapat lahir dari jiwa yang penuh luka.

Bahwa cinta, ketika tak pernah diterima, berubah menjadi kesunyian yang menakutkan.

-000-

Di Paris, saya kembali menonton kisah ini.

Sebelumnya saya pernah menontonnya di New York (Broadway)  dan London (West End). Dalam sejarah Broadway di New York, Phantom

of Opera tercatat sebagai teater paling lama yang pernah dimainkan (1988-2023)

Masing-masing sutradara dan kota memberikan nuansa yang berbeda atas naskah yang sama.

Kisah ini berasal dari novel Le Fantôme de l’Opéra karya Gaston Leroux. Novel itu terbit pada tahun 1910.

Leroux mantan jurnalis investigasi yang terbiasa memasuki ruang-ruang gelap Paris. Ia terpesona oleh bangunan megah Opéra Garnier dan cerita tentang sosok misterius yang menghuni bawah tanah teater itu.

Dari latar tersebut lahirlah Phantom, tokoh jenius musik yang terbuang dari masyarakat karena wajahnya yang cacat.

Lebih dari tujuh puluh tahun kemudian, pada tahun 1986, Andrew Lloyd Webber mengubah kisah ini menjadi musikal.

Musiknya yang megah, gelap, dan emosional menjadikan Phantom of the Opera bukan sekadar karya seni. Ia berubah menjadi fenomena budaya global.

Pertunjukan itu menguasai London dan New York selama puluhan tahun. Kini juga tampil di Paris. Ia menjadi ikon teater modern.

-000-

Kisah dimulai di Opéra Garnier yang sedang mempersiapkan pertunjukan baru.

Di balik hiruk pikuk persiapan itu, para kru membicarakan tentang hantu yang konon menghuni ruang bawah tanah teater.

Hantu itu adalah Phantom, seorang jenius musik yang bersembunyi dari dunia.

Christine Daaé, seorang penyanyi muda, tiba-tiba mengalami peningkatan kemampuan vokal yang luar biasa.

Ia percaya bahwa suara misterius yang melatihnya adalah Malaikat Musik kiriman ayahnya. Padahal suara itu berasal dari seorang guru yang bersembunyi dalam gelap, Phantom.

Phantom jatuh cinta kepada Christine, bukan hanya karena suaranya. Ia jatuh cinta karena melihat cahaya di dalam diri Christine. Cahaya yang tidak pernah ia miliki.

Ketika Raoul, sahabat masa kecil Christine, kembali hadir dan mencintainya, hati Phantom runtuh.

Ia dibakar cemburu. Ia muncul di panggung, mengacaukan pertunjukan, dan akhirnya menculik Christine ke tempat persembunyiannya di bawah tanah.

Di sana, untuk pertama kalinya, Christine melihat wajah Phantom tanpa topeng.

Yang ia lihat bukan hanya cacat fisik.

Yang ia temukan adalah kehidupan seseorang yang dihukum sejak lahir.

Phantom menangis bukan karena bentuk wajahnya.

Ia menangis karena merasa tidak layak dicintai.

Pada puncak konflik, Phantom memaksa Christine memilih.

Jika ia memilih Phantom, Raoul akan selamat.

Jika ia memilih Raoul, Raoul akan mati.

Namun Christine melakukan sesuatu yang tak ia duga.

Ia menghampiri Phantom dan mencium keningnya.

Ia memberikan kasih sayang yang tidak pernah Phantom terima.

Itu bukan ciuman cinta.

Itu ciuman belas kasih.

Tindakan itu menghancurkan seluruh amarah Phantom.

Ia melepaskan Christine dan Raoul.

Ia memilih kembali kepada kesepiannya. Ia menghilang dalam kegelapan.

Phantom mengalah bukan karena cinta yang padam.

Ia mengalah karena cintanya kepada Christine terlalu dalam.

Cinta sang jenius itu tidak berjawab.

Namun ia berakhir dengan pengertian yang justru menambah luka.

-000-

Mengapa Phantom of the Opera Abadi

Pertama, Kisah ini mengangkat luka yang dimiliki hampir semua manusia. Phantom adalah simbol bagian diri yang ingin kita sembunyikan.

Ia adalah metafora dari rasa tidak layak, rasa takut ditolak, dan trauma lama yang menempel di dalam identitas kita.

Pandangan ini diperkaya dalam analisis George Perry dalam bukunya The Complete Phantom of the Opera.

Perry menjelaskan bahwa inti dari tokoh Phantom bukan terletak pada kejahatannya, melainkan pada kemanusiaannya yang terdistorsi.

Phantom adalah potret ekstrem dari manusia yang ditolak sejak lahir, dan penolakan itu membentuk seluruh keberadaannya.

Pembacaan ini memperjelas bahwa tragedi Phantom adalah tragedi psikologis yang akarnya jauh lebih dalam daripada sekadar wajah yang cacat.

Kedua, Musiknya tidak hanya didengar. Musiknya dirasakan.

Andrew Lloyd Webber menciptakan komposisi yang menggetarkan jiwa.

Nada-nadanya membawa kita masuk ke ruang emosional yang sulit dijelaskan secara rasional. Musiknya menjadi pintu menuju kedalaman batin manusia.

Gaston Leroux sendiri, dalam novel aslinya, sudah menanamkan akar musikalitas ini.

Ia menggambarkan Phantom sebagai jenius yang mengolah musik bukan sebagai seni, tetapi sebagai bahasa batin.

Dalam satu bagian penting novel, Leroux menulis bagaimana musik adalah “satu-satunya jalan bagi sang Hantu untuk tetap merasa hidup.”

Inilah yang kemudian diperkuat oleh Webber dalam bentuk musikal, sehingga musik menjadi pusat gravitasi emosional cerita.

Ketiga, Kisah cintanya adalah tragedi yang universal.

Phantom mencintai Christine dengan seluruh hidupnya.

Namun cinta itu tak pernah menjadi miliknya.

Tragedi cinta yang tidak sampai selalu bertahan dalam imajinasi manusia. Ia hidup karena kita semua pernah merasakannya dalam bentuk yang lebih kecil.

-000-

Dalam dunia modern yang serba terlihat, kisah Phantom mengingatkan kita. Keindahan sejati justru lahir dari keberanian menatap bayangan diri sendiri, bukan dari kesempurnaan yang tampak di permukaan.

Tapi Phantom mengajarkan satu hal penting. Bahwa kejeniusan tanpa penerimaan dapat berubah menjadi kesunyian yang membakar.

Bahwa luka yang tidak disembuhkan akan mencari jalan keluar dengan cara yang tidak selalu indah.

Ia juga mengingatkan bahwa setiap manusia memakai topeng. Ada bagian dari diri kita yang ingin kita sembunyikan dari dunia.

Namun suatu hari, topeng itu akan jatuh. Dan yang terlihat bukanlah rupa kita, tetapi keberanian kita menerima diri sendiri.

Cerita Phantom of the Opera bukan hanya cerita gothic dari Paris. Ia adalah refleksi tentang betapa rapuhnya manusia ketika mencari cinta, cahaya, dan pengakuan.

Dan seperti Christine, kita pun harus memilih. Apakah kita akan memberi kasih pada luka seseorang.

Atau membiarkannya tenggelam kembali ke kegelapan.

Cerita Phantom berakhir dengan kesunyian. Tetapi bagi kita, ia menjadi inspirasi.

Bahwa bahkan dalam kegelapan paling pekat, selalu ada kemungkinan bagi manusia untuk memilih kebaikan.*

9 Desember, Di Atas Pesawat dari Paris Menuju Abu Dhabi

-000-

Referensi

1. Gaston Leroux, The Phantom of the Opera, Penguin Classics, 2012 (edisi modern dari novel 1910).

2. George Perry, The Complete Phantom of the Opera, Pavilion Books, 1987.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/17X5vW5huq/?mibextid=wwXIfr ***