Catatan Denny JA: Mengapa Fatin Hamama Menang Puisi Esai Award 2025
Oleh Denny JA
(Penggagas dan Pendiri Komunitas Puisi Esai)
“Kita bisa saja berkubang dalam kelam seperti kangkung di kali,
tapi bunga putihnya adalah puisi,
mekar dari tangis, duka nestapa, pesta pora, peluh, dan sengketa.”
— Fatin Hamama, “Puisi dan Bunga Kangkung”
ORBITINDONESIA.COM - Ada penyair yang menulis karena ingin dikenal,
ada pula yang menulis karena ingin abadi.
Namun Fatin Hamama menulis karena ingin menyembuhkan.
Karya-karyanya seperti “Puisi dan Bunga Kangkung” tidak lahir dari ruang sepi atau laboratorium diksi,
melainkan dari lorong-lorong kehidupan.
Itu Kali Pasir yang pengap, tubuh lapar, dan cinta yang tertinggal di Taman Ismail Marzuki.
Di sana, ia tidak sekadar menulis puisi,
ia menulis doa bagi kemanusiaan.
Puisi itu memadukan realitas sosial, sejarah ruang, dan pengalaman spiritual.
Ia menulis bukan untuk melarikan diri dari dunia,
melainkan untuk memeluk dunia yang sedang retak.
Itulah mengapa puisinya terasa seperti lentera kecil yang tetap menyala
di tengah udara yang makin penuh asap dan kehilangan.
-000-
Puisi Esai Award adalah penghargaan tertinggi bagi karya puisi esai, yang tidak hanya indah dalam bentuk, tetapi juga bermakna dalam isi.
Ini puisi yang bersandar pada fakta, kisah sebenarnya tapi difiksikan.
Ia memadukan riset sosial dengan suara batin, menulis kebenaran tanpa kehilangan keindahan.
Penghargaan ini diberikan kepada penyair yang menulis dengan empati dan kesadaran moral, yang menjadikan kata bukan sekadar alat, tetapi jalan menuju kebijaksanaan.
Sejak pertama kali diadakan, Puisi Esai Award selalu mencari karya yang mampu menjembatani estetika dan etika, dan berbicara langsung kepada nurani manusia.
Dan di tahun 2025, suara itu datang dari Fatin Hamama. Ini suara yang menulis dengan kedalaman renungan dan cahaya iman.
-000-
Tiga Alasan Mengapa Fatin Hamama Layak Menang
Pertama: Ia Menulis dari Luka yang Nyata.
Fatin tidak menulis dari menara gading. Ia menulis dari tepian kali, dari ruang-ruang sempit tempat hidup diuji.
“Puisi dan Bunga Kangkung” menjadi epitaf bagi yang tertinggal oleh pandemi,
dan bagi penyair yang kehilangan kata, tapi tidak kehilangan cinta.
Demikian pula “Mazmur Duka Mazmur Cinta”,
puisi yang menembus batas kehidupan dan kematian,
tentang cinta dua insan tua—Jhon dan Berta—yang memilih berpulang bersama.
Puisi ini membuka jendela batin: bahwa kematian, dalam kasih yang murni, bukan pemisahan,
melainkan penyatuan kembali dalam keabadian.
“Jangan takut, Berta, kita akan selalu bersama.”
— Mazmur Duka Mazmur Cinta
Puisi ini mengandung keheningan yang mengguncang,
menjadikan kesedihan sebagai sarana penyucian, bukan sekadar ratapan.
Ia mengajak pembaca melihat kematian bukan dengan takut,
tetapi dengan kelembutan iman yang mengalahkan waktu.
Kedua: Ia Menjadikan Puisi sebagai Diplomasi Kemanusiaan.
Dalam berbagai forum sastra di Indonesia dan dunia,
Fatin membawa puisi esai bukan sebagai produk Indonesia semata,
tetapi sebagai bahasa universal empati.
Ia menulis tentang derita perempuan, kemiskinan, dan perbatasan
dengan keberanian seorang juru damai.
Bagi Fatin, puisi bukan sekadar ekspresi, ia adalah jembatan antara bangsa, agama, dan manusia.
Ketiga: Ia Mempertahankan Suara Nurani di Tengah Cacian.
Ketika dunia digital ramai dengan sinisme,
ia tetap menulis dengan kelembutan dan keyakinan:
“Banyak cara orang berjuang, menyuarakan suara kemanusiaan adalah pilihan saya.”
Di tengah badai komentar dan penghakiman,
ia tidak mundur—karena ia tahu,
menulis puisi esai berarti menulis ikhtibar kehidupan.
Di samping sebagai penulis,
Fatin Hamama juga berjasa sebagai pejuang puisi esai,
memperkenalkan genre baru itu ke Asia Tenggara, Australia, hingga Kairo.
-000-
Fatin Hamama lahir di Padang Panjang, 15 November 1967.
Sejak umur delapan tahun ia sudah menulis puisi,
dan sejak saat itu, hidupnya tak pernah jauh dari kata dan nurani.
Ia alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo,
tempat yang membentuk kesadaran spiritual dan intelektualnya.
Sejak 1990-an, ia telah berkelana di berbagai forum sastra dunia:
Festival Penyair Dunia di Seoul, Sydney, Kuala Lumpur,
Dialog Utara di Thailand, hingga Pertemuan Sastrawan Nusantara di Malaysia.
Karya-karyanya muncul di Republika, Haluan, Singgalang, Ulumul Qur’an,
dan banyak media lain.
Buku kumpulan puisinya, Papyrus, menjadi tonggak perjalanan panjangnya
sebagai penyair yang menulis bukan untuk keindahan semata,
melainkan untuk kesadaran.
Ia pernah menjadi dubber, pemain teater, dan penulis naskah drama .
Namun di balik semua peran itu, selalu ada satu hal yang ia jaga:
kejujuran batin seorang penyair.
Berbagai penghargaan mengukuhkan kiprahnya:
Anugerah Persuratan Islam Sabah 2023,
Anugerah Sastera Kemanusiaan ASEAN 2024,
dan kini, Puisi Esai Award 2025.
Ini sebuah pengakuan bahwa suara kemanusiaan masih memiliki tempat di dunia yang bising ini.
-000-
Fatin pernah berkata:
“Puisi esai bukan buah khayali, tapi hasil tapis saring dari peristiwa sosial di tengah masyarakat, untuk pendidikan moral.”
Pernyataan itu bukan sekadar teori.
Ia mempraktikkan maknanya dengan hidupnya sendiri.
Ia menulis dari pengalaman umat, dari luka masyarakat, dari tangis para ibu.
Baginya, puisi esai bukan sekadar bentuk sastra—
ia adalah amal kultural, jalan untuk menjaga keseimbangan moral dunia.
Puisi esai dalam tangannya menjadi ziarah:
ke jiwa manusia, ke ruang sosial, ke sejarah yang sering kita lupakan.
Ia menulis bukan untuk menang, tapi untuk menyalakan kesadaran.
Dan justru karena itu, ia menang.
-000-
Lebih dari sekadar penghargaan personal, kemenangan Fatin Hamama menandai babak kedewasaan bagi estetika puisi esai Indonesia.
Ia membuka jalan bagi pendekatan sastra yang berpijak pada riset sosial namun tetap spiritual. Melalui disiplin riset, ia membuktikan bahwa puisi dapat menjadi bentuk pemikiran publik yang etis sekaligus indah.
Fatin Hamama menjadi contoh bahwa kata bisa menjadi ibadah.
Dalam dunia yang mudah putus asa,
ia menulis untuk menegakkan harapan.
Dalam zaman yang bising oleh kebencian,
ia menulis dengan kasih dan empati.
Puisi dan Bunga Kangkung menjadi saksi
bahwa bahkan dari lumpur kehidupan,
bunga putih kemanusiaan masih bisa mekar.
Mazmur Duka Mazmur Cinta menegaskan bahwa cinta tidak berhenti di liang lahat—
ia tetap hidup dalam kesetiaan dan doa.
Mungkin di situlah letak keajaiban puisi esai:
ia membuat kita tidak hanya berpikir,
tetapi juga merasa dan beriman kembali kepada kemanusiaan.
“Jika kamu merasakan derita berarti kamu hidup,
tapi bila kamu merasakan penderitaan orang lain, berarti kamu manusia.”
Dan Fatin Hamama,
melalui puisinya yang lembut dan berani,
telah membuktikan keduanya.*
Jakarta, 13 November 2025
Referensi
1. Fatin Hamama R. Syam, Mazmur Duka Mazmur Cinta (Puisi Esai Mini Antar Benua), Cerah Budaya International, 2024.
2. Fatin Hamama R. Syam, Papyrus, Kumpulan Puisi Religi dan Kemanusiaan, 2010.
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/16frk7Ze6b/?mibextid=wwXIfr