Puisi Esai Denny JA: Dua Wajah Pemimpin
- Sebuah Puisi Esai tentang Jasa dan Dosa
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - (Menjelang Hari Pahlawan 10 November 2025, dua perempuan, Ratih dan Dewi, bersilang pandang di depan patung pemimpin yang baru diresmikan. Satu menabur bunga. Satu memungut duri kenangan.) (1)
-000-
Langit sore membelah dirinya seperti kaca berwarna:
setengahnya jingga keemasan, setengahnya kelabu berdebu.
Di bawahnya, dua perempuan berdiri.
Di antara mereka: patung pemimpin yang membisu.
Dewi menggenggam mawar putih.
Ratih menggenggam arang.
Bagi Dewi, patung itu seperti ayah yang kembali.
Bagi Ratih, seperti luka yang menolak sembuh.
-000-
Dewi berbicara.
“Aku lahir di tahun ia membangun jalan di desaku.
Sebelum itu, kami harus menyeberangi lumpur untuk ke sekolah.
Ia datang, dengan helikopter, dengan janji, dengan bata.”
Ibu Dewi dulu menjahit bendera merah putih
di tenda upacara peresmian bendungan.
Air mengalir, sawah hidup, anak-anak mandi di irigasi.
Dewi tumbuh seperti bunga yang mekar dari beton,
melihat pembangunan seperti doa yang dikabulkan.
Ia mengingatnya sebagai Bapak Pembangunan,
yang menjinakkan kemiskinan dengan baja dan semen,
yang menukar gelap malam dengan lampu jalan.
Bagi Dewi, suara pengeras di televisi hitam-putih
adalah lantunan harapan.
Ia percaya:
kadang kekuasaan perlu keras,
agar bangsa tak tercerai oleh bisingnya perbedaan.
-000-
Ratih menjawab.
“Aku kehilangan kakak di tahun yang sama, Dewi.
Ia diseret malam-malam, tanpa surat, tanpa pamit.”
Suara pintu digedor adalah ingatan yang tak pernah tidur.
Ratih masih ingat langkah-langkah bot di halaman,
dan ibu yang berdoa tanpa suara di bawah meja makan.
Kakaknya dituduh kiri,
padahal hanya menulis puisi tentang petani yang lapar.
“Kami tak tahu makamnya di mana,” Ratih berbisik,
“tapi negara menulis namanya di daftar yang harus dilupakan.”
Ratih belajar bahwa suara bisa lebih berbahaya dari senjata,
bahwa buku bisa dihukum lebih berat dari peluru.
Bagi Ratih, patung itu bukan monumen.
Ia adalah bayangan panjang
yang menindih mimpi banyak keluarga yang dibungkam.
-000-
Di antara Dewi dan Ratih,
patung itu tetap diam.
Cahaya senja menyentuh separuh wajahnya:
emas di satu sisi,
bayang kelam di sisi lain.
Dewi menatap ke kiri:
ia melihat irigasi, gedung, dan prosesi pembangunan.
Ratih menatap ke kanan:
ia melihat lubang gelap,
dan mata-mata yang disembunyikan sejarah.
-000-
Waktu seakan berhenti.
Angin membawa suara-suara lama:
nyanyian peresmian bercampur tangisan interogasi.
Dewi ingin memaafkan.
Ratih ingin diakui.
Keduanya benar,
karena bangsa selalu lahir dari dua rahim:
pengorbanan dan penyesalan.
Di dada malam, bintang jatuh tanpa suara,
seperti nama-nama yang tak tercatat di prasasti.
Namun dari gelap itu, tumbuh cahaya kecil:
doa yang menolak padam, meski zaman berganti.
-000-
Dan kini, di hadapan monumen itu,
mereka menatap tanpa berkata:
Barangkali pemimpin bukan tentang putih dan hitam,
tapi tentang warna abu-abu
yang terus berdebat di hati manusia.
Barangkali keadilan tak pernah selesai,
ia hanya berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya,
menjadi percakapan di depan patung,
antara bunga dan arang.
-000-
Langit kini sepenuhnya malam.
Dewi meletakkan mawarnya.
Ratih menabur debu dari genggamannya.
Di bawah patung itu,
angin berdesir pelan seperti bisikan arwah bangsa:
“Kami tak butuh dipuja, hanya dipahami.
Kami tak ingin disucikan,
cukup diingat, dengan jujur.”
Dan di sana,
dua perempuan itu akhirnya menatap satu sama lain,
dengan mata yang sama bening,
namun cerita yang berbeda.
Patung itu tetap berdiri,
mungkin untuk selamanya.
Bukan hanya simbol kekuasaan,
tapi cermin bangsa,
yang belajar melihat dirinya sendiri
tanpa kacamata tunggal:
antara jasa dan dosa,
antara bunga dan arang.*
Jakarta, 9 November 2025
(Catatan: Pro dan kontra usulan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional kembali merebak.
Namun di balik statistik dan pidato,
selalu ada Ratih dan Dewi —
dua hati, dua sejarah,
dalam satu tanah air.)
https://news.detik.com/berita/d-8197280/pro-kontra-usulan-soeharto-menjadi-pahlawan-nasional/amp
-000-
Berbagai puisi esai dan ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/1BcVs6jFca/?mibextid=wwXIfr