Catatan Denny JA: Bertumpu Tidak Hanya pada Satu Jenis Energi

Menghadiri Eksibisi dan Konferensi Minyak Internasional ADIPEC, 3–6 November 2025 (6)

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Pagi itu, di Abu Dhabi, matahari terbit dengan cara yang hanya diketahui gurun: perlahan tapi menyala penuh.

Langit memantulkan warna keemasan di dinding kaca gedung konferensi, tempat ribuan pemimpin energi dunia berkumpul.

Di luar, deretan mobil listrik terparkir rapi; di dalam, layar LED menampilkan grafik harga minyak, proyeksi gas, dan ambisi hidrogen biru.

Di tengah keramaian itu, saya mendengar presentasi seorang menteri dari Afrika—The Right Honourable Ekperikpe Ekpo, Menteri Negara Sumber Daya Perminyakan Nigeria.

Ia berbicara dengan nada getir namun penuh keyakinan.

“Delapan puluh juta rakyat kami masih hidup tanpa listrik. Kami tak bisa menandatangani kesepakatan hijau sambil membiarkan mereka makan malam dalam gelap.

Kami tak ingin melakukan energi hijau yang bisa membuat rakyat kami tetap miskin: decarbonize to poverty.”

Kata-katanya menembus keheningan seperti angin panas gurun. Dekarbonisasi tidak boleh menjadi alasan untuk menambah penderitaan manusia.

Transisi energi, jika dilakukan tanpa keadilan, bisa menjadi bentuk kolonialisme baru. Hanya  saja kali ini, atas nama lingkungan hidup.

-000-

Beberapa lama kemudian, di ruangan yang sama, Menteri Energi dan Pertambangan Montenegro, His Excellency Admir Šahmanović, naik ke podium.

Ia menjelaskan bagaimana negaranya telah melangkah cepat menuju energi terbarukan: 60 persen listrik berasal dari tenaga air dan angin.

Sementara 40 persen lainnya masih bergantung pada pembangkit termal sebagai penopang dasar sistem energi.

Ia menyebutkan proyek-proyek baru yang tengah dirancang, termasuk kabel bawah laut yang menghubungkan Balkan Barat dengan Italia, menjadikan Montenegro jembatan energi antara dua kawasan.

Tak lama kemudian, giliran The Honourable July Moyo, Menteri Energi dan Pembangunan Ketenagalistrikan Zimbabwe, berbicara dengan nada tegas namun rendah hati.

Ia mengakui tantangan utama negaranya: kekurangan pasokan energi untuk menopang sektor pertambangan dan pertanian.

Namun kini, Zimbabwe membuka ruang bagi sektor swasta untuk berperan dalam pembangkitan dan distribusi listrik.

Mereka juga menargetkan peningkatan energi terbarukan non-hidro hingga 29 persen dalam lima tahun ke depan.

Dari Nigeria hingga Montenegro, dari Zimbabwe hingga Uni Emirat Arab, satu pesan yang bergema di ADIPEC 2025 begitu jelas: dunia tidak bisa bertumpu hanya pada satu jenis energi.

-000-

Dunia yang kompleks memerlukan jawaban yang kompleks pula.

Energi fosil memberikan kekuatan dan stabilitas; energi hijau menghadirkan harapan dan keberlanjutan.

Keduanya bukan musuh, melainkan dua tangan yang menuntun peradaban menuju keseimbangan baru.

Di ruang utama konferensi, Sekretaris Jenderal International Energy Forum, His Excellency Joseph McMonigle, berbicara dengan suara tenang namun penuh keyakinan:

“Tidak ada satu pun jenis energi yang mampu memikul masa depan sendirian. Kita membutuhkan dialog lintas sumber, lintas bangsa, dan lintas kepentingan.”

Di belakangnya, layar besar menampilkan data JODI—Joint Organisations Data Initiative—yang selama ini memantau minyak dan gas dunia, kini diperluas untuk mencakup metrik keberlanjutan.

Dunia sedang bergerak menuju diversifikasi energi, bukan sekadar transisi.

Dan di ruang lain, forum Hydrogen & Emerging Economies menggema dengan debat yang sama kerasnya.

Apakah hidrogen benar-benar dapat menjadi tulang punggung ekonomi baru?

Ataukah gas alam tetap akan menjadi jembatan menuju masa depan rendah karbon?

Semua pertanyaan itu berpangkal pada satu hal: keseimbangan antara keadilan, keamanan, dan keberlanjutan energi.

-000-

Saya merenung di tengah hiruk-pikuk wacana global itu.

Betapa ironisnya: dunia sedang berpacu mengejar nol emisi, sementara jutaan manusia masih hidup tanpa satu lampu pun untuk menerangi malamnya.

Maka, pertanyaan moral yang sesungguhnya bukan hanya “berapa karbon yang kita kurangi,” melainkan “siapa yang tertinggal dalam prosesnya.”

Inilah makna terdalam dari diversifikasi energi.

Bukan sekadar mencari campuran terbaik antara minyak, gas, dan energi terbarukan, tetapi memastikan setiap manusia, di Jakarta, Lagos, atau Harare, memiliki hak yang sama untuk hidup dalam terang.

Diversifikasi energi bukanlah pilihan pragmatis semata; ia adalah wujud empati global, bentuk baru dari solidaritas kemanusiaan.

Ia menolak pandangan sempit yang menilai energi hanya dari sisi teknologi, dan mengembalikannya pada makna paling manusiawi: bahwa energi adalah hak, bukan kemewahan.

-000-

Bagi Indonesia, pesan itu terasa sangat relevan.

Ada tiga alasan mengapa diversifikasi energi harus menjadi perhatian utama kita.

Pertama, kerentanan terhadap fluktuasi global.

Setiap kali harga minyak dunia naik satu dolar, anggaran negara ikut bergetar.

Diversifikasi, dari gas, panas bumi, sampai hidrogen, bukan sekadar strategi teknis, melainkan perisai ekonomi nasional.

Kedua, keadilan bagi seluruh pulau.

Bauran energi yang beragam memungkinkan keadilan spasial: listrik dari surya untuk NTT, panas bumi untuk Jawa Barat, gas alam untuk Sumatera, dan bioenergi untuk Kalimantan.

Energi yang inklusif akan menjadikan pembangunan tak lagi terpusat, melainkan menyala di setiap penjuru nusantara.

Ketiga, ketahanan di era kecerdasan buatan.

Artificial Intelligence membutuhkan listrik yang luar biasa besar.

Tanpa diversifikasi, AI dapat mempercepat krisis energi, bukan menyelesaikannya.

Indonesia perlu menyiapkan bauran energi yang bukan hanya hijau, tetapi juga cerdas, yang menopang pertumbuhan digital tanpa melukai bumi.

-000-

Menjelang sore, saya berdiri di luar aula utama ADIPEC.

Matahari kembali tenggelam di balik padang pasir, menciptakan garis cahaya di horizon yang terasa seperti simbol.

Tak ada satu warna tunggal yang membentuk langit; selalu perpaduan jingga, emas, dan ungu.

Begitu pula dengan masa depan energi.

Ia tak akan lahir dari satu sumber tunggal, melainkan dari perpaduan: antara fosil yang bijak, hijau yang berani, dan teknologi yang beradab.

Energi yang beragam bukan hanya soal daya listrik, tetapi daya hidup. Ini sebuah tekad untuk tidak meninggalkan siapa pun dalam gelap.

Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang memilih satu sumber, melainkan bangsa yang berani menyalakan semua sumber yang tersedia demi cahaya bersama.

-000-

Dunia baru sedang lahir, bukan dari perang, melainkan dari percampuran.

Dari minyak yang bertransformasi. Dari gas yang menjadi jembatan. Dari matahari yang menjadi nadi.

Indonesia harus berdiri di tengah pusaran ini, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku yang menyalakan nyala baru.

Masa depan bukanlah tentang satu energi yang mendominasi, melainkan tentang keberanian untuk menyalakan semuanya.

Hanya bangsa yang memahami arti keragaman energi yang sejati akan sanggup menjaga keseimbangan antara kemajuan dan keberlanjutan.

Antara teknologi dan kemanusiaan. .*

Abu Dhabi, 6 November 2025

Referensi:

1. Daniel Yergin (2020). The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations. Penguin Press.

2. Vaclav Smil (2022). How the World Really Works: The Science Behind How We Got Here and Where We’re Going. Penguin Random House.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1A6enQQiwa/?mibextid=wwXIfr