Krisis Sudan: Satelit Menyimpan Bukti yang Diabaikan Dunia

Oleh Azmat Ali, kolumnis Middle East Monitor

ORBITINDONESIA.COM - Pembunuhan massal di Gaza dan serangan gencar di Sudan merupakan bagian dari pola global yang lebih luas di mana warga sipil sengaja menjadi sasaran. Mereka yang terdampak di kedua tempat tersebut sama-sama manusia, namun dunia merespons secara berbeda.

Gaza telah memicu mobilisasi global yang meluas, protes, boikot, dan pernyataan solidaritas. Sementara itu, kota El-Fasher di Darfur Utara kurang mendapat perhatian internasional. Kontras ini menimbulkan pertanyaan yang meresahkan tentang pengakuan yang tidak setara atas penderitaan manusia.

Kedua tempat tersebut menceritakan kisah paralel tentang kehilangan warga sipil. Di Gaza, serangan udara, tembakan artileri, dan serangan darat telah menghancurkan seluruh distrik perkotaan.

Pusat Satelit Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNOSAT) telah merilis citra satelit berulang kali yang menunjukkan permukiman yang rata dengan tanah, terutama hingga akhir 2023 dan awal 2024, dengan puluhan ribu bangunan rusak atau hancur. Badan-badan kemanusiaan telah menggunakan penilaian ini untuk memetakan kebutuhan dan menggambarkan skala kehancuran.

Laporan dari Human Rights Watch, Amnesty International, dan jurnalis independen telah mendokumentasikan insiden-insiden di mana warga sipil terbunuh di rumah, tempat penampungan, dan rumah sakit. Organisasi-organisasi ini menyatakan bahwa banyak serangan gagal membedakan secara memadai antara target militer dan sipil, yang melanggar hukum humaniter internasional.

Di El-Fasher, kekerasan telah mengambil bentuk yang berbeda tetapi dengan konsekuensi yang sama menghancurkannya bagi warga sipil. Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan kelompok-kelompok sekutu telah dituduh oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi-organisasi hak asasi manusia melakukan pembunuhan yang ditargetkan, termasuk pembunuhan yang tampaknya bermotif etnis.

Pada pertengahan 2024, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia memperingatkan bahwa warga sipil di Darfur menghadapi "serangan serius dan sistematis".

Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Yale, melalui Observatorium Konflik Sudan, telah menggunakan citra satelit untuk mendokumentasikan penghancuran wilayah sipil, pembakaran permukiman, penampakan dan perluasan wilayah yang sesuai dengan lokasi pemakaman massal, dan kerusakan berulang pada fasilitas medis di dalam dan sekitar El-Fasher.

Keterangan saksi mata yang dikumpulkan oleh jurnalis dan pekerja kemanusiaan yang melarikan diri dari wilayah tersebut mendukung temuan ini. Pola kekerasan ini dibandingkan dengan kekejaman massal yang disaksikan di Darfur dua dekade lalu.

Di Gaza dan El-Fasher, perempuan dan anak-anak terdampak secara tidak proporsional. Di Gaza, badan-badan PBB telah melaporkan tingginya angka korban jiwa anak dan gangguan parah pada layanan medis.

Di Sudan, kekerasan seksual telah terdokumentasikan, termasuk di kamp-kamp pengungsian. Program Pangan Dunia dan UNICEF telah mencatat peningkatan malnutrisi anak di kedua konteks tersebut, karena jalur pasokan terputus dan akses kemanusiaan dibatasi.

Dokumentasi emosional dan visual dari kedua krisis ini telah dibentuk oleh teknologi satelit. Di Gaza, citra satelit menunjukkan jalan-jalan dan rumah-rumah hancur menjadi puing-puing, lingkungan berubah menjadi hamparan puing-puing kelabu, dan lembaga-lembaga publik yang dulunya dapat dikenali berubah menjadi reruntuhan.

Di Sudan, rekaman satelit menunjukkan bukti yang berbeda: desa-desa hangus, rumah sakit yang hancur, pasar-pasar yang terbakar, dan area-area bumi yang baru terganggu. Ketika para peneliti tidak dapat memasuki suatu wilayah dengan aman, citra satelit menjadi kesaksian.

Namun, krisis Sudan, meskipun telah menggusur jutaan orang dan memicu peringatan PBB tentang kelaparan dan meningkatnya pembunuhan massal, belum menghasilkan mobilisasi internasional yang sebanding.

Pernyataan dari para pemimpin dunia, seruan kemanusiaan, dan liputan media sesekali telah bermunculan, terutama ketika laporan pembunuhan massal muncul. Namun, respons publik belum sebanding dengan yang terlihat di Gaza. Aktivis dari Sudan telah berulang kali menyuarakan rasa sakit dari kebisuan ini.

Ada alasan di balik perbedaan ini. Gaza telah lama menempati posisi sentral dalam politik global dan ingatan kolektif. Penderitaan Palestina dipahami secara luas dalam konteks perjuangan selama puluhan tahun. Jaringan advokasi seputar hak-hak Palestina telah mapan dan terkoordinasi dengan baik, sementara liputan media terus-menerus dan intensif.

Sebaliknya, krisis Sudan bersifat kompleks, melibatkan faksi-faksi militer yang berseteru, dinamika kekuatan regional, dan sejarah konflik yang berlapis-lapis di Darfur. Media internasional seringkali mengartikannya sebagai "perang saudara" atau "kelaparan", tanpa menyampaikan kisah kemanusiaan atau konteks politik. Kurangnya kejelasan narasi ini dapat mengurangi dampak emosional dan politik.

Ada juga pertanyaan yang lebih sulit. Para cendekiawan, jurnalis, dan anggota diaspora Sudan telah menyoroti dimensi rasial, dengan berargumen bahwa kekerasan terhadap warga Afrika Hitam di Darfur secara historis kurang mendapat perhatian global yang berkelanjutan.

Mereka mencatat bahwa bahkan selama kekejaman massal di awal tahun 2000-an, aktivisme terbatas dan seringkali berumur pendek. Terlepas dari apakah ini penjelasan utamanya atau bukan, persepsi tersebut penting. Ketika orang-orang merasa hidup mereka diperlakukan kurang berharga, dampak psikologis memperparah dampak fisik.

Menanggapi secara setara bukan berarti menggabungkan kedua krisis menjadi satu. Ini berarti mengakui bahwa setiap nyawa warga sipil memiliki nilai yang sama. Hal ini menuntut akuntabilitas dalam kedua konteks dan menolak empati selektif. Ini berarti menuntut semua aktor bersenjata untuk mematuhi hukum internasional.

Tanggapan yang setara membutuhkan dukungan investigasi independen di Gaza dan Sudan, mengamankan akses kemanusiaan di mana pun warga sipil berada dalam risiko, dan membangun gerakan publik yang tidak bergantung pada kenyamanan politik atau siklus perhatian media. Tanggung jawab untuk melawan ketidakadilan tidak dimulai atau berakhir di perbatasan tertentu.

Jika kemanusiaan berarti sesuatu, itu pasti berarti bahwa seorang anak yang terbunuh di El-Fasher diratapi dengan urgensi yang sama seperti seorang anak yang terbunuh di Gaza. Itu pasti berarti menolak untuk berpaling—di mana pun. ***