Resensi Buku Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu Karya Syed Naquib Alattas: Sebuah Peta Intelektual Islam-Melayu
ORBITINDONESIA.COM- Buku Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu merupakan salah satu karya penting Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang pemikir besar asal Malaysia yang dikenal sebagai pelopor Islamisasi ilmu pengetahuan dan ahli metafisika Islam kontemporer.
Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) pada tahun 1972, dan sejak itu menjadi teks klasik dalam studi peradaban Melayu. Di Indonesia buku ini diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 1977. Buku ini merupakan karya besar bagi siapa pun yang ingin mengetahui akar budaya dari Islamisasi di Asia Tenggara Kepulauan atau kita kenal Tanah Melayu.
Karya ini tidak sekadar membahas sejarah masuknya Islam ke dunia Melayu, tetapi lebih dalam: ia menelusuri transformasi intelektual, spiritual, dan kultural yang ditimbulkan oleh Islam terhadap masyarakat Melayu.
Al-Attas berargumen bahwa Islam bukan sekadar datang sebagai agama baru yang menggantikan kepercayaan lama, melainkan sebagai kekuatan pembentuk peradaban (civilizational force) yang mendefinisikan kembali pandangan hidup (weltanschauung) orang Melayu.
Ringkasan Isi dan Struktur Buku
Buku ini terdiri dari beberapa bagian besar yang secara garis besar membahas:
-
Masuknya Islam ke Dunia Melayu – Al-Attas menolak pandangan orientalis bahwa Islam datang melalui pedagang India atau China secara pasif. Ia menegaskan bahwa Islam masuk langsung dari dunia Arab, dibawa oleh ulama dan sufi yang berakhlak tinggi, bukan sekadar pedagang. Pandangan ini penting karena menegaskan keaslian dan kemurnian ajaran Islam yang diterima masyarakat Melayu sejak awal.
-
Islam sebagai Transformasi Kebudayaan – Di bagian ini, Al-Attas menunjukkan bahwa Islam membawa revolusi intelektual dan linguistik. Bahasa Melayu, yang semula dipengaruhi oleh kosa kata Hindu-Buddha, direkonstruksi menjadi bahasa ilmu dan agama melalui penyerapan istilah-istilah Arab seperti ilm, adab, iman, amal, hakikat, syariat, dan ma‘rifah. Bahasa menjadi instrumen penyebaran adab—yakni disiplin akal dan jiwa—yang menjadi inti kebudayaan Islam.
-
Filsafat dan Pandangan Alam Islam – Bagian yang paling filosofis. Di sini, Al-Attas menguraikan konsep pandangan alam Islam (Islamic worldview) yang mengandung kesatuan antara wahyu, akal, dan pengalaman spiritual. Islam, menurutnya, memberikan dasar ontologis dan epistemologis bagi kebudayaan Melayu, menggantikan unsur mitologis Hindu-Buddha. Maka Islam tidak hanya mengubah agama masyarakat Melayu, tetapi mengubah cara mereka memahami realitas itu sendiri.
-
Peranan Ulama dan Sufi – Al-Attas menekankan peranan para sufi seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, dan Syamsuddin al-Sumatrani. Mereka bukan hanya tokoh mistik, tetapi juga filsuf dan penyebar peradaban. Tradisi sufi inilah yang menjadikan Islam di dunia Melayu berwatak halus, estetis, dan penuh hikmah.
Tema Utama: Islam Sebagai Sumber Adab dan Identitas
Menurut Al-Attas, inti kebudayaan Melayu-Islam adalah adab—yakni disiplin rohani dan intelektual yang menuntun manusia menempatkan sesuatu pada tempatnya yang benar (to put things in their proper places).
Ketika Islam datang, ia tidak memusnahkan kebudayaan lokal, melainkan menyucikannya dan mengangkatnya ke tingkat yang lebih tinggi.
Islam memberikan masyarakat Melayu kerangka metafisik dan moral yang koheren: konsep Tuhan yang transenden, manusia sebagai khalifah, ilmu sebagai jalan menuju kebenaran, dan keindahan sebagai pantulan dari kebenaran Ilahi.
Dengan demikian, kebudayaan Melayu-Islam tidak bisa dipahami sebagai hasil asimilasi pasif, melainkan sebagai pembentukan identitas baru yang terilhami wahyu.
Al-Attas juga menentang teori-teori Barat yang memandang Islam hanya sebagai faktor “eksternal” atau sekadar lapisan budaya di atas struktur lokal. Baginya, Islam adalah inti ruhani (spiritual core) yang memberi arah kepada seluruh dinamika sosial, politik, sastra, seni, dan pendidikan masyarakat Melayu.
Analisis Kritis: Gagasan Besar Al-Attas
Ada beberapa hal yang membuat buku ini sangat penting dan khas dalam khazanah intelektual Islam Nusantara:
-
Kritik terhadap Orientalisme dan Sekularisme Barat
Al-Attas menunjukkan bahwa banyak peneliti Barat keliru memahami proses Islamisasi karena memakai paradigma sekuler—menganggap agama hanya fenomena sosial, bukan kebenaran metafisik. Ia mengoreksi pendekatan itu dengan metodologi Islam yang menempatkan wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi. -
Islamisasi Bahasa dan Ilmu
Salah satu kontribusi besar Al-Attas adalah gagasan bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa ilmiah karena Islam. Penerjemahan konsep-konsep Arab bukan hanya linguistik, tetapi epistemologis. Dari sinilah lahir istilah seperti ilmu, adab, makrifat, syariat, dan iman yang menjadi fondasi konseptual peradaban Melayu. -
Integrasi Tasawuf dan Filsafat
Al-Attas tidak memisahkan rasionalitas dan spiritualitas. Ia justru menunjukkan bahwa kebudayaan Melayu mencapai puncaknya saat kedua hal itu bersatu, seperti terlihat dalam karya Hamzah Fansuri dan tradisi sufistik Aceh abad ke-17. -
Pandangan tentang Adab sebagai Asas Peradaban
Konsep adab menjadi inti pemikiran Al-Attas, baik dalam buku ini maupun dalam karya-karyanya yang lain seperti Islam and Secularism (1978) dan The Concept of Education in Islam (1980). Ia berpendapat bahwa krisis umat Islam modern bukan krisis politik atau ekonomi, melainkan krisis adab—yakni kehilangan kemampuan menempatkan ilmu, manusia, dan Tuhan pada posisi yang semestinya.
Gaya Penulisan dan Nilai Akademik
Gaya penulisan Al-Attas dalam buku ini padat, elegan, dan penuh istilah konseptual. Ia menggabungkan pendekatan sejarah, linguistik, dan filsafat dalam satu narasi yang menyatu.
Walaupun tidak mudah dibaca oleh pembaca awam, bagi kalangan akademisi dan intelektual Muslim buku ini sangat berharga karena membuka kerangka berpikir alternatif terhadap sejarah kebudayaan Melayu—yakni kerangka yang tidak kolonial, tidak sekuler, dan berakar dalam worldview Islam.
Setiap argumen Al-Attas selalu diiringi dengan rujukan teks klasik, baik dari sumber Arab maupun Melayu. Ia menunjukkan keluasan ilmunya: menguasai teologi, filsafat Islam, sufisme, serta sejarah kebudayaan Asia Tenggara.
Tidak heran bila Syed Muhammad Naquib Alattas sejajar dengan para filsuf Muslim dunia seperti Ismail Raji Al-Faruqi dan Ziauddin Sardar yang sama-sama menyerukan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Kritik dan Relevansi Kontemporer
Beberapa kritik terhadap buku ini datang dari kalangan sejarawan modern yang menilai pendekatan Al-Attas terlalu “metafisik” dan kurang memperhatikan dinamika ekonomi-politik Islamisasi di dunia Melayu.
Namun justru di situlah keistimewaannya: Al-Attas menawarkan pembacaan kultural dan filosofis, bukan sekadar deskriptif.
Di era modern, buku ini tetap relevan karena mengingatkan kita bahwa identitas kebudayaan Melayu tidak bisa dipisahkan dari Islam.
Ketika arus globalisasi dan sekularisasi mengikis nilai-nilai lokal, gagasan Al-Attas tentang adab, ta’dib, dan "pandangan alam Islam" (Islamic Worldivew) menjadi panduan penting bagi pembangunan pendidikan dan kebudayaan yang berakar pada ruh Islam.
Kesimpulan: Sebuah Manifesto Peradaban Islam Melayu
Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu bukan sekadar karya sejarah; ia adalah manifesto peradaban. Buku ini menegaskan bahwa Islam telah memberi arah, makna, dan struktur bagi seluruh kebudayaan Melayu, dari bahasa, seni, sastra, pendidikan, hingga politik.
Al-Attas mengajak umat Islam untuk memahami sejarah bukan sebagai nostalgia masa lalu, melainkan sebagai kesadaran diri (self-awareness) bahwa kebudayaan sejati lahir dari pandangan hidup yang benar. Bagi Al-Attas, Islam tidak datang untuk menghapus Melayu, melainkan menyempurnakannya—mengangkatnya dari mitos menuju makna, dari budaya menuju peradaban.
“Islamlah yang menjadikan Melayu mengenal dirinya, mengenal Tuhan, dan mengenal makna ilmu serta adab.”
— Syed Muhammad Naquib al-Attas,***