Resensi Buku Greendeen: Ketika Agama dan Ekologi Berjumpa

ORBITINDONESIA.COM- Di tengah perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan konflik atas sumber daya alam, muncul pertanyaan besar: bagaimana agama — dan secara khusus Islam — dapat memberi kontribusi terhadap pemeliharaan bumi? Buku Green Deen mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengajak pembaca memahami bahwa hubungan manusia-Tuhan-alam bukanlah terpisah, melainkan sebuah kesatuan holistik.

Abdul-Matin, seorang aktivis sekaligus komunitas Muslim Amerika, menyuarakan bahwa Islam memiliki warisan teologis dan praktik yang sangat relevan untuk ekologi — bahwa bumi bukan hanya “tempat tinggal”, melainkan juga amanah, masjid, dan entitas yang memanggil manusia menjadi penjaga (khalifah). 

Buku ini hadir bukan sebagai teks akademik berat, tetapi sebagai panggilan moral — mengajak umat Muslim dan pembaca lintas keyakinan untuk menyadari bahwa “Agama Hijau” (“Green Deen”). Dari akar katanya terdapat dua bahasa sekaligus Inggris dan Arab, kata green (hijau) dari bahasa Inggris dan din (agama) dari bahasa Arab, namun karena pelafalan bahasa Inggris ditulis menjadi deen. 

bukan sekadar slogan, melainkan jalan hidup. Dalam edisi Indonesia, diterjemahkan sebagai Greendeen: Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam, buku ini terbit dalam edisi bahasa Indonesia pada tahun 2012.

Buku ini juga menyasar pembaca Indonesia yang beragama Islam dan sedang menimbang relasi spiritual-ekologis. Buku ini menarik bagi siapa pun yang meminati kajian ekoteologi yang kini sedang berkembang di dunia, khususnya di Indonesia. 

Isi dan Gagasan Utama: Enam Prinsip Agama Hijau dan Empat Bidang Aksi

Abdul-Matin mengembangkan gagasan “Green Deen” melalui dua sumbu besar: enam prinsip dasar dan empat bidang aksi praktis.

Enam prinsip tersebut, seperti yang dipaparkan dalam kajian di Indonesia, adalah: tauhid (kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya), ayat (melihat tanda-tanda Tuhan di alam), khalifah (peran manusia sebagai penanggungjawab bumi), amanah (kepercayaan Tuhan kepada manusia), ‘adl (keadilan) dan (keseimbangan). 

Sedangkan empat bidang aksi yang dibahas secara konkret adalah limbah (waste), energi (watts), air (water) dan makanan (food). Buku menyajikan berbagai contoh bagaimana komunitas Muslim di Amerika mengembangkan kebiasaan ramah lingkungan: mengurangi konsumsi, memilih makanan lokal, mengelola air secara hemat, dan mendesain masjid yang “hijau”. 

Secara naratif, buku memulai dengan refleksi personal penulis atas pengalaman sehari-hari — misalnya kesadaran akan sampah aluminium, perjalanan ke karung-karung sampah di kota besar, dan bagaimana pengalaman itu memunculkan pertanyaan spiritual: “Apakah konsumsi saya sesuai dengan amanah Tuhan?”

Selanjutnya, buku memperluas pembahasan ke sejarah lingkungan dan kolonialisme, menggambarkan bagaimana eksploitasi alam di masa lalu memiliki relasi dengan eksploitasi manusia — dan bagaimana perspektif Islam dapat menawarkan jalan keluar. 

Kekuatan Buku: Keterhubungan Spiritualitas dan Aktivisme Lingkungan

Salah satu kekuatan besar Green Deen ialah kemampuannya menghubungkan spiritualitas Islam dengan tuntutan praktis pelestarian lingkungan.

Abdul-Matin tidak sekadar memanggil pembaca untuk “sayang alam”, tetapi mengaitkannya dengan konsep keimanan: bahwa menjaga bumi adalah bagian dari ibadah, dan bahwa bumi itu sendiri adalah “masjid” — ruang suci yang memanggil manusia untuk kemuliaan, tidak hanya pemanfaatan. 

Keunggulan lainnya ialah bahasa yang relatif mudah diakses oleh pembaca luas, tidak hanya akademisi. Buku ini cocok bagi mahasiswa, aktivis lingkungan, atau komunitas Muslim yang ingin mengintegrasikan nilai agama dan ekologi.

Di Indonesia, pengaruh buku ini terasa — banyak pesantren, komunitas muslim, telah menjadikan buku ini referensi dalam program “eco-pondok” atau “green pesantren”.

Selain itu, buku ini memberi kerangka normatif yang kuat — enam prinsip tersebut — yang dapat digunakan sebagai basis pendidikan nilai lingkungan berbasis Islam. Ini menjadi nilai tambah bagi pembaca di Indonesia yang mencari integrasi antara iman dan tanggungjawab lingkungan.

Kelemahan Buku: Konteks Amerika dan Kurangnya Kedalaman Teknis

Meski demikian, Green Deen memiliki beberapa keterbatasan yang penting dicatat. Pertama, banyak contoh dalam buku berasal dari pengalaman komunitas Muslim Amerika atau barat, yang konteks sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan alamnya berbeda jauh dengan Indonesia atau Asia Tenggara.

Maka penerapan langsung prinsip-prinsip tersebut ke konteks tropis atau masyarakat agraris dapat membutuhkan adaptasi yang cukup besar.

Kedua, buku ini lebih bersifat inspiratif dan normatif — memanggil sikap dan paradigma — daripada memberikan solusi teknis mendalam. Tidak banyak disajikan perhitungan ilmiah, analisis kebijakan atau studi longitudinal tentang dampak aktivitas “hijau” yang spesifik.

Bagi pembaca yang mencari manual teknis pengelolaan energi surya, mikro-hidro, atau efisiensi energi di Indonesia, buku ini bisa terasa agak ringan.

Ketiga, istilah-istilah Islam seperti tauhid, amanah, mizan, yang menjadi kerangka utama buku, meskipun sangat kaya secara simbolik, bagi sebagian pembaca non-Muslim atau yang kurang familiar bisa terasa abstrak.

Juga membutuhkan waktu untuk diinternalisasi dan dihubungkan dengan tindakan konkret. Ini sedikit membatasi jangkauan luas buku, meskipun bagi komunitas Muslim menjadi keunggulan.

Relevansi untuk Konteks Indonesia dan Implikasi Praktis

Di Indonesia, Green Deen sangat relevan sebagai sumber inspirasi. Dengan negara yang memiliki mayoritas penduduk Muslim, buku ini menawarkan cara pandang yang mengintegrasikan iman dan lingkungan—menjadi jembatan antara gerakan ekologi modern dan tradisi keagamaan Islam yang kuat.

Pesan bahwa manusia adalah khalifah yang menjaga bumi dapat menguatkan nilai lokal tentang keharmonisan alam dan budaya.

Secara praktis, buku ini dapat dijadikan teks dasar dalam program-program seperti: pendidikan nilai lingkungan di pesantren, kampanye pengurangan sampah plastik berbasis komunitas muslim, desain masjid dan kegiatan keagamaan yang lebih ramah lingkungan (misalnya hemat air, listrik, bahan makanan lokal).

Mengadaptasi empat bidang aksi (limbah, energi, air, makanan) ke dalam konteks Indonesia—termasuk isu sawit, deforestasi, sampah plastik laut—dapat memperkaya implementasi lokal.

Namun, untuk tindak lanjut teknis seperti desain instalasi surya atap, audit air, atau strategi efisiensi energi gedung tropis, harus dipadukan dengan literatur teknis tambahan. Maka buku ini paling tepat sebagai landasan nilai dan motivasi, bukan sebagai manual teknis lengkap.

Penutup: Sebuah Undangan Menjaga Bumi Sebagai Ibadah

Greendeen menghadirkan undangan yang sederhana namun mendalam: bahwa menjaga alam tidak boleh dianggap sebagai aktivitas sekunder atau hanya tanggungjawab “orang lingkungan”, tetapi sebagai bagian dari jalan beragama dan kehidupan bermakna.

Dengan memperluas definisi “masjid” hingga ke seluruh bumi dan memperlihatkan bagaimana konsumsi, limbah, energi dan makanan memiliki dimensi etis dan spiritual, buku ini memberi perspektif baru yang segar dalam dialog antara agama dan lingkungan.

Bagi pembaca Indonesia yang ingin mempertemukan keyakinan dan tanggungjawab ekologis, buku ini layak untuk dibaca dan direnungkan. Ia mengajak kita untuk melewati konsumsi tanpa sadar, dan menjadi manusia yang sadar akan perannya sebagai khalifah di muka bumi.

Dalam era perubahan iklim dan krisis ekologi, Greendeen bukan sekadar bacaan, tetapi bisa menjadi panggilan — untuk hidup dengan iman yang memelihara, bukan menjarah.***