Peter F Gontha: Chromebook vs Microsoft, Efisiensi, Kebijakan dan Ironi Tuduhan Terhadap Nadiem Makarim
Oleh Peter F. Gontha
ORBITINDONESIA.COM - Kasus yang menimpa Nadiem Makarim—mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—berawal dari kebijakan pengadaan Chromebook untuk mendukung digitalisasi pendidikan nasional. Tuduhan yang diarahkan kepadanya seolah menyiratkan adanya konflik kepentingan antara pemerintah dan pihak penyedia teknologi, yaitu Google. Namun, jika ditelaah secara objektif, terdapat ironi besar dalam logika tuduhan tersebut.
1. PERBEDAAN MENDASAR Chromebook vs Windows
Chromebook menggunakan ChromeOS, sistem operasi berbasis open source yang dikembangkan Google dan tidak membutuhkan biaya lisensi. Dalam kata lain, pemerintah atau pengguna tidak perlu membayar sepeser pun untuk menggunakan sistem ini.
Sebaliknya, komputer berbasis Microsoft Windows memerlukan biaya lisensi tahunan berkisar antara US$190–US$200 per perangkat. Jika Indonesia memerlukan, katakanlah, 2 juta unit komputer untuk program pendidikan, maka anggaran yang harus dikeluarkan mencapai US$400 juta per tahun hanya untuk lisensi software—belum termasuk pembaruan, antivirus, dan pemeliharaan.
Dengan Chromebook, pengeluaran itu bisa dihapus seluruhnya. Inilah alasan utama di balik kebijakan efisiensi yang diambil oleh Kementerian Pendidikan di era Nadiem.
2. LOGIKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK.
Tujuan utama program Chromebook adalah mempercepat digitalisasi pendidikan dengan biaya serendah mungkin, agar anak-anak di seluruh pelosok Indonesia memiliki akses pada perangkat belajar modern. Dalam konteks kebijakan publik, langkah tersebut justru rasional, efisien, dan progresif.
Bahwa Google sebagai pemilik ekosistem ChromeOS tentu mendapatkan keuntungan tidak langsung (misalnya melalui penggunaan Google Drive, Docs, atau Classroom), hal itu tidak otomatis menjadi konflik kepentingan. Tidak ada pembayaran tunai, tidak ada komisi, dan tidak ada transaksi yang merugikan negara.
3. IRONI HUKUM DAN POLITIK.
Ironinya, setelah Nadiem tidak lagi menjabat, Menteri Pendidikan yang baru pun melanjutkan kebijakan yang sama, dengan pengadaan 400 ribu Chromebook tambahan dalam delapan hingga dua belas bulan terakhir. Bila demikian, di manakah letak kesalahannya?
Apakah setiap menteri yang menggunakan Chromebook kemudian akan dianggap berpotensi melakukan korupsi?
Logika seperti ini berbahaya, karena akan menghambat inovasi kebijakan publik. Negara justru akan terjebak dalam lingkaran birokrasi dan ketakutan mengambil keputusan strategis yang efisien bagi rakyat.
4. Penutup: SAATNYA RASIONALITAS MENGGANTIKAN PERSEPSI.
Dalam dunia yang semakin digital, teknologi pendidikan tidak lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Chromebook adalah langkah menuju efisiensi, bukan celah korupsi. Perdebatan ini seharusnya tidak diarahkan pada motif politik, melainkan pada substansi: bagaimana negara bisa memberikan akses pendidikan modern dengan biaya serendah mungkin. ***
 
             
                                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                