Ipit Saefidier Dimyati: Persoalan Objektivitas Penilaian Karya Seni
Oleh Ipit Saefidier Dimyati
ORBITINDONESIA.COM - Melalui sumber sekunder saya membaca buku David Hume mengenai 'standard of taste'. Seni tidak bisa dinilai secara objektif yang absolut seperti halnya sains.
Namun meskipun begitu, rasa yang halus, yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, bisa hadir dalam diri manusia, jika ia melatihnya dengan dengan banyak berapresiasi, membandingkan berbagai karya, dan tentu saja membaca. Kata Hume: “Meskipun selera berbeda-beda, masih mungkin menemukan suara bersama di antara mereka yang telah mengasah pengamatan dan mengendalikan prasangkanya.”
'Standard of taste' bukan berarti ada standar yang objektif murni, terlepas dari manusia, tapi standar kesepakatan di antara para ahli atau pengamat seni yang berpengalaman. Objektivitas dalam seni dengan demikian merupakan objektivitas kesepakatan dari manusia yang berakal dan terlatih yang berdasarkan pengalaman. Singkat kata, pendekatan terhadap seni yang paling memadai adalah berdasarkan objektivitas intersubjektif.
Immanuel Kant, yang konon terjaga dari keterlelapannya akibat membaca pikiran Hume, mengungkapkan bahwa penilaian estetis menjadi mungkin karena ada subjek-universal dan prinsip 'tanpa kepentingan.
Ketika kita mengatakan 'sajak itu bagus', kita tidak melaporkan fakta objektif, melainkan mengungkapkan kesenangan murni. Perasaan itu bukan sekadar dorongan pribadi, tapi disertai keyakinan bahwa setiap orang seharusnya memiliki perasaan yang sama.
Penilaian estetis, begitu kurang lebih ungkap Kant, bersifat “subjektif-universal”, ia tidak berakar pada konsep, tetapi memiliki klaim universalitas yang tidak dapat dipaksakan.
Kant lebih lanjut berkata bahwa wilayah estetis itu otonom, bebas dari moral, politik, atau ekonomi. Pandangan ini kelak dipersoalkan oleh Bourdieu. Kenikmatan terhadap karya sejatinya didasarkan pada prinsip kesenangan tanpa pamrih atau kepentingan (disinterested pleasure). Kesenangan estetis adalah murni kesenangan atas bentuk, harmoni, dan permainan imajinasi dengan rasio.
Ide otonomi seni ini digugat oleh Arthur Danton. Dalam bukunya yang sering diperbincangkan, The Transfiguration of the Commonplace (1981), mengungkapkan bahwa penilaian seni tidak bisa dilepaskan dari konteks dunia seni itu sendiri.
Selanjutnya, dia mengajukan pertanyaan yang paradoksal: Mengapa Brillo Boxes karya Andy Warhol dianggap seni, sementara kotak Brillo di supermarket tidak? Menurutnya, hal itu terjadi bukan terletak pada bentuk atau keindahan, tetapi pada teori atau wacana yang menyertainya.
Dunia seni (artworld) yang terdiri dari seniman, kritikus, kurator, institusi, dan sejarah seni, memberikan kerangka konseptual yang membuat sesuatu dapat dipahami sebagai seni. Objektivitas seni tergantung pada konteks yang bisa dianalisis secara rasional dan koheren dalam lingkup wacana seni.
Pada perkembangan selanjutnya, Bourdieu melengkapi pandangan ini dengan menyebutkan bahwa dunia seni adalah ruang sosial dengan relasi kekuasaan. Selera estetis hadir dari kebiasaan, habitus sosial, yakni kecenderungan yang dibentuk oleh kelas, pendidikan, dan pengalaman sosia, bukan hasil spontanitas atau universalitas.
Menurut Bourdieu, objektivitas penilaian seni, tidak pernah bebas dari kekuasaan. Apa yang dianggap indah, bermutu, atau tinggi adalah hasil perjuangan simbolik antar kelas sosial.
Sebagai penutup di sini bisa disebutkan, klaim terhadap objektivitas estetis semakin lemah. Sejak munculnya dadaisme, konseptualisme, performance art, hingga postdramatic, keindahan tidak lagi menjadi ukuran utama.
Seni tidak lagi dinilai karena bentuk atau harmoni, melainkan karena ide, kritik sosial, atau gestur politisnya. Dengan kata lain, objektivitas rasa sebagai kriteria utama telah berpindah ke argumentasi konseptual dan nilai wacana. Kritik seni kini telah menjadi aktivitas hermeneutik, yaitu menjelaskan mengapa suatu karya penting dalam kerangka sosial dan historis tertentu. ***