Erros Djarot, Megawati, dan Cikal Bakal Lahirnya PDI Perjuangan
Erros Djarot. Autobiografi Erros Djarot 1. Jakarta: Lingkar Budaya Cerdas, September 2025. Tebal: xxiv + 669 hlm.
ORBITINDONESIA.COM - Jika orang ingin menulis tentang awal mula kelahiran PDI Perjuangan, sejarah itu tak akan lengkap tanpa menyebut Sugeng Waluyo Djarot, yang lebih dikenal dengan nama Erros Djarot. Itulah yang saya yakini ketika membaca buku “Autobiografi Erros Djarot 1,” yang peluncurannya dilakukan di Senayan Jakarta, Minggu, 19 Oktober 2025.
Buku ini adalah bagian pertama dari dua jilid, di mana jilid kedua saat ini belum terbit. Tetapi jika melihat betapa informatifnya isi buku jilid 1 ini, saya yakin buku jilid 2 itu nanti juga akan sama menariknya. Keduanya sangat layak dikoleksi oleh para aktivis, praktisi politik, pengamat, dan pakar politik Indonesia.
PDI Perjuangan saat ini adalah partai politik terbesar, yang sangat mewarnai politik Indonesia. Cikal bakal PDI Perjuangan adalah PDI (Partai Demokrasi Indonesia), yang dibentuk dari hasil fusi lima partai politik berhaluan nasionalis dan Kristen.
Kebijakan fusi partai politik yang diberlakukan oleh rezim Orde Baru pada 1973 itu bukan muncul secara alami, melainkan bagian dari rekayasa politik Orde Baru untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan mengendalikan kehidupan politik nasional.
Lima partai politik itu, yaitu: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). PNI adalah partai warisan Sukarno, berideologi nasionalisme marhaenisme, dan merupakan partai besar sebelum 1965.
Dalam buku yang bisa dianggap sebagai “kesaksian” ini, banyak informasi penting dan menarik tentang lika-liku perjalanan demokrasi Indonesia era Orde Baru. Yakni, terutama pada saat bangkitnya perlawanan yang gigih terhadap otoritarianisme rezim Soeharto, tahun 1990-an.
Sikap Politik Keluarga Bung Karno
Buku setebal hampir 700 halaman ini berkisah tentang banyak hal, termasuk tentunya hal-hal pribadi. Mulai dari masa kecil Erros bersama kakaknya Slamet Rahardjo, ketika sekolah di SMP Tanjung Pandan, Belitung. Pak Djarot Djojoprawiro, ayah Erros waktu itu adalah Komandan Pangkalan AURI Tanjung Pandan.
Lalu, Erros melanjutkan di SMA Budi Utomo di Jakarta. Berikutnya bekerja sebagai buruh di Munchen, kuliah di Jerman dan sekolah film di Inggris. Pacaran, menikah dengan Dewi Trijati Surianegara, putri diplomat Ilen Surianegara, di Tunisia. Masih banyak sekali yang bisa diceritakan.
Tapi dalam ulasan singkat ini saya hanya ingin membahas soal politik. Khususnya, keterlibatan Erros Djarot --yang bagian dari keluarga GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia)-- dalam ikut mendukung Megawati menjadi Ketua Umum PDI (Partai Demokrasi Indonesia) pada Kongres Luar Biasa di Surabaya, 1993. Bagi Erros sendiri, ini pasti penting, karena dia menempatkan hal ini di bagian-bagian awal bukunya.
Sejak awal Erros memang sudah lama dekat dengan keluarga Bung Karno, seperti dengan Guntur Soekarnoputra, putra sulung Bung Karno yang akrab dipanggil “Mas Tok.” Dari kedekatan itu, Erros sempat menyaksikan dan terlibat dalam peristiwa bersejarah.
Pada pertengahan 1970-an, di rumah Mas Tok di Cempaka Putih, Jakarta untuk pertama kalinya keluarga Bung Karno menyampaikan kepada publik secara terbuka sikap politik keluarga Bung Karno, di tengah hiruk pikuk politik Orde Baru.
Sejak awal Guntur tidak setuju dengan kebijakan Ali Moertopo-Soeharto, yang memaksa PNI harus menjadi bagian dari fusi yang membentuk PDI. Guntur menganggap, fusi ini tujuan utamanya hanyalah untuk mengebiri, mengecilkan PNI dan para pendukung, maupun barisan Bung Karno.
Guntur, melalui sejumlah diskusi serius, akhirnya mengumumkan sikap politik keluarga Bung Karno yang tidak ke mana-mana dan tidak di mana-mana. Tidak ke PDI, PPP, apalagi Golkar. Itu jawaban terhadap manuver Soeharto. Keluarga Bung Karno mengambil jarak yang pasti terhadap eksistensi PDI, PPP dan Golkar.
Guntur Soekarnoputra menyatakan, “Erros sudah dianggap bagian keluarga Bung Karno. Ibu Fatmawati menganggap Erros seperti anak sendiri. Saya pernah memintanya mendampingi adik saya, Megawati, yang akan maju sebagai calon Ketua Umum PDI pada KLB Surabaya 1993.”
Karena pesan Mas Tok yang sangat ia hormati itulah, Erros bersedia terjun sepenuhnya mendampingi Megawati untuk meraih posisi Ketua Umum PDI. Mas Tok sangat berharap agar Megawati, walau harus terjun ke dunia politik yang sarat dengan manuver politik Orde Baru, harus tetap tegak berdiri sebagai seorang Marhaenis. Maka ia harus didampingi.
Taufiq Kiemas dan Isu BAKIN
Ada kisah menarik ketika Erros berjumpa dengan Megawati, yang didampingi suaminya Taufiq Kiemas, tokoh senior GMNI di rumah Kebagusan, Jakarta Selatan. Erros menyampaikan amanat dari Mas Tok untuk mendampingi Mega.
Setelah mendapat sambutan positif, secara terbuka Erros juga menanyakan kesiapan finansial minimal untuk operasional menghadapi KLB Surabaya. Meski terlihat kurang nyaman, Taufiq menjawab, ada uang cukup dari pom bensin yang dikelola.
Tetapi ada satu hal lagi yang lebih sensitif. Setelah menarik napas dalam, Erros bilang: “Terus terang Mas, saya nggak mau dengar lagi Mas Taufiq main-main dengan BAKIN.”
BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) adalah badan intelijen di era Orde Baru, yang kini sudah berubah jadi BIN (Badan Intelijen Negara). Di era Soeharto, intelijen memang sudah merasuk jauh ke segala aspek sosial-politik, termasuk tentunya ke partai politik. Keluarga Bung Karno sudah pasti masuk dalam pantauan radar BAKIN.
“Ah kamu ini, mau saja dengerin kabar bohong murahan kaya begitu,” respons Taufiq.
“Maaf ya Mas, kita sama-sama lama di lapangan. Ini benar-benar permintaan saya pribadi. Setidaknya permintaan ini sudah saya sampaikan.”
“Gak usah takut Erros, nanti Mbak sendiri yang jewer dia,” tiba-tiba Megawati nyeletuk.
“Rasanya kok gak cukup cuman dijewer Mbak,” Erros pun menimpali.
Pembicaraan pun tidak berlanjut, tetapi tidak ada ganjalan apa pun, karena Taufiq Kiemas bukan tipe orang yang cepat tersinggung. Dia mau menerima kritik dan siap mendengar percakapan yang pedas sekali pun.
Selain momen berkesan itu ada banyak kisah lain yang menarik dari autobiografi ini. Saya belum menyinggung kiprah Erros di dunia musik, film, serta jurnalistik, yang semuanya bisa dibahas tersendiri.
Kemerdekaan, Merdeka, Memerdekakan
Selain buku autobiografi ini, ada buku lain yang diterbitkan, berjudul “Erros Djarot Apa Kata Sahabat.” Buku setebal 646 halaman ini berisi 72 tulisan karya 72 orang sahabat mengenai dirinya. Buku ini diterbitkan beberapa bulan lalu, berkenaan dengan usia Erros tahun 2025 ini yang genap 75 tahun. Saya merasa bangga, diminta menjadi salah satu penulis untuk berkontribusi di buku itu.
Bagi berbagai kalangan, Erros bisa dikenal dengan banyak peran, banyak wajah. Ia adalah legenda hidup musik dan film, jurnalis, politisi, dan budayawan. Kisah hidupnya berlika-liku, penuh warna, kaya dimensi.
Tampilannya yang cair, kalem, dan tidak meledak-ledak, menyembunyikan kegigihan, tekad, dan komitmennya yang tak tergoyahkan pada prinsip-prinsip yang ia yakini. Pada dasarnya, ia tetaplah seorang yang ideologis. Garis Marhaenisme Nasionalisme tetap ia pegang teguh.
Kalau Anda bingung, bagaimana merumuskan seorang Erros Djarot, ada tiga kata kunci dengan muatan ideologis yang melandasi semua kiprahnya, dari mengarang lagu sampai berkubang di politik: KEMERDEKAAN, MERDEKA dan MEMERDEKAKAN. Seluruh ajaran Bung Karno ia yakini sepenuhnya bertumpu “di” dan “pada” ketiga kata tersebut.
Seorang Marhaenis harus selalu berjuang untuk menghadirkan “kemedekaan” yang wajib diperjuangkan untuk dimiliki secara mutlak agar dirinya, komunitasnya, rakyatnya, dan bangsanya, terbebas dari segala bentuk penjajahan, pembodohan, pemiskinan, dan keterbelakangan.
Selanjutnya seorang Marhaenis harus memaknai dan mencapai tahapan hidup “merdeka” bagi dirinya, komunitasnya, maupun bangsanya. Sedangkan kerja “memerdekakan” merupakan pekerjaan seorang Marhaenis yang wajib dilakukan ketika dirinya sudah berada dalam “kemerdekaan” dan berhasil hidup “merdeka”. Maka wajib bagi dirinya untuk “memerdekakan” mereka yang masih tertindas, terjajah, dan terkungkung dalam pembodohan, pemiskinan, dan keterbelakangan.
Bagi Erros, substansi dan intisari Marhaenisme telah terangkum dalam rangkaian tiga kata itu, yang bisa dijadikan pijakan kerja operasional bagi siapa pun yang mengaku dirinya seorang Marhaenis. Pesan-pesan yang mau disampaikan Erros lewat buku ini juga bisa dirangkum dengan merenungkan makna tiga kata itu.
Depok, 25 Oktober 2025
==================
*Satrio Arismunandar adalah penulis buku dan wartawan senior. Saat ini menjabat Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, Pemimpin Redaksi media online OrbitIndonesia.com dan Majalah Pertahanan-Geopolitik ARMORY REBORN. Di masa represi Orde Baru 1990-an, ia ikut mendirikan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan menjabat DPP SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia). WA: 081286299061. ***