Mimpi di Laut Lepas: Mengapa Indonesia Layak Memiliki Kapal Induk

Oleh Satrio Arismunandar*

ORBITINDONESIA.COM - Kabar tentang rencana TNI Angkatan Laut mengakuisisi kapal induk bekas milik Italia kembali memantik perdebatan di ruang publik. Sebagian menilai langkah itu ambisius, bahkan terlalu jauh untuk ukuran Indonesia.

Namun di balik skeptisisme itu, ada argumen strategis yang sulit diabaikan: sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17 ribu pulau dan tiga samudra di sekelilingnya, Indonesia bukan sedang berlebihan bila bermimpi memiliki kapal induk—ia justru sedang menagih logika geopolitiknya sendiri.

Selama ini, Indonesia dikenal lebih sebagai kekuatan maritim defensif. Fokus TNI AL adalah menjaga perairan teritorial, jalur logistik, dan sumber daya pesisir.

Tapi dunia berubah. Laut kini bukan hanya ruang patroli, melainkan juga arena proyeksi pengaruh dan simbol status strategis. Kehadiran kapal induk, meski hanya satu dan berskala menengah, akan memberi Indonesia kemampuan baru: memindahkan titik kekuatan udara ke mana pun dalam radius ribuan kilometer tanpa bergantung pada pangkalan darat.

Kapal induk ex-Italia yang disebut-sebut—kemungkinan besar Giuseppe Garibaldi atau Cavour kelas ringan—tidak akan menjadikan TNI AL kekuatan “blue water navy” seperti AS atau China dalam semalam. Tapi kehadirannya bisa menjadi langkah transisi: laboratorium terapung untuk melatih interoperabilitas udara-laut, memperkuat logistik jarak jauh, serta mematangkan konsep “sea control” di perairan Nusantara dan sekitarnya.

Bagi kawasan Indo-Pasifik, kapal induk bukan sekadar alat perang, tapi pesan politik. Ketika TNI AL menempatkan kapal itu di bawah Komando Armada I atau II, maknanya bukan ofensif, melainkan simbol kesiapan untuk melindungi jalur laut vital seperti Selat Malaka, Laut Natuna, atau perbatasan timur yang berbatasan dengan Laut Arafura dan Pasifik Selatan.

Kapal induk juga akan memampukan Indonesia berperan lebih besar dalam operasi kemanusiaan dan stabilisasi kawasan. Dalam bencana besar seperti tsunami atau gempa, kapal ini bisa berfungsi sebagai rumah sakit terapung, pusat logistik, dan pos komando. Sejarah membuktikan, kekuatan laut yang disegani tak selalu datang dari ambisi militer, tapi dari kemampuan memberi efek nyata di masa damai.

Namun tentu, mimpi ini tidak murah. Operasional satu kapal induk menuntut biaya logistik, pelatihan, dan integrasi teknologi yang tinggi. Infrastruktur pendukung di pelabuhan, armada pengiring, hingga pesawat tempur dan helikopter yang kompatibel harus dipersiapkan dengan cermat. Tanpa itu, kapal induk hanya akan menjadi simbol terapung tanpa gigi.

Karena itu, para analis menilai rencana ini harus ditempatkan dalam kerangka jangka panjang—bagian dari visi 2045, ketika Indonesia ingin meneguhkan diri sebagai kekuatan maritim global. Dalam konteks itu, akuisisi kapal induk bukanlah tentang perlombaan senjata, melainkan tentang kedewasaan geopolitik: kesiapan menanggung tanggung jawab sebanding dengan posisi geografis dan potensi ekonominya.

Jika akhirnya kapal induk ex-Italia benar berlabuh di pangkalan TNI AL, itu akan menandai babak baru dalam sejarah militer Indonesia. Dari laut inilah negara ini lahir, dan dari laut pula masa depannya akan diuji. Kapal induk bukan sekadar lambang kekuatan, tapi juga pengingat bahwa kedaulatan tidak berhenti di pantai—ia menuntut keberanian untuk berlayar lebih jauh.

-ooo-

*Dr. Ir. Satrio Arismunandar, M.Si., MBA adalah penulis buku dan wartawan senior. Saat ini menjabat Pemimpin Redaksi media online OrbitIndonesia.com dan majalah pertahanan/geopolitik/hubungan internasional ARMORY REBORN.

Ia saat ini menjadi Staf Ahli di Biro Pemberitaan Parlemen, Sekretariat Jenderal DPR RI. Juga, Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA (sejak Agustus 2021).

Ia pernah menjadi jurnalis di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-2001), Executive Producer di Trans TV (2002-2012), dan beberapa media lain.

Mantan aktivis mahasiswa 1980-an ini pernah menjadi salah satu pimpinan DPP SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) di era Orde Baru pada 1990-an. Ia ikut mendirikan dan lalu menjadi Sekjen AJI (Aliansi Jurnalis Independen) 1995-1997.

Ia lulus S1 dari Jurusan Elektro Fakultas Teknik UI (1989), S2 Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional UI (2000), S2 Executive MBA dari Asian Institute of Management (AIM), Filipina (2009), dan S3 Filsafat dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (2014). Disertasinya tentang perilaku korupsi elite politik di Indonesia dalam perspektif strategi kebudayaan.

Buku yang pernah ditulisnya, antara lain: Perilaku Korupsi Elite Politik di Indonesia: Perspektif Strategi Kebudayaan (2021); Lahirnya Angkatan Puisi Esai (2018); Hari-hari Rawan di Irak (2016); Mereka yang Takluk di Hadapan Korupsi (kumpulan puisi esai, 2015); Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Penggulingan Rezim Soeharto (2005); Megawati, Usaha Taklukkan Badai (co-writer, 1999); Di Bawah Langit Jerusalem (1995); Catatan Harian dari Baghdad (1991); Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia (Antologi bersama, 2018); Kapan Nobel Sastra Mampir ke Indonesia? (2022); Direktori Penulis Indonesia 2023 (2023).

Pernah mengajar sebagai dosen tak tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), IISIP, President University, Universitas Bakrie, Sampoerna University, Kwik Kian Gie School of Business, dan lain-lain.

Kontak/WA: 0812 8629 9061. E-mail: sawitriarismunandar@gmail.com ***