Indonesia Konsisten Dukung Palestina Merdeka

Penulis: KH. Dr.  Amidhan Shaberah (Ketua  MUI 1995-2015/Komnas HAM 2002-2007)

 

Di sela hiruk-pikuk diplomasi global, nama Indonesia kembali bergema di panggung internasional. Kali ini, dalam KTT Perdamaian Sharm El-Sheikh, Mesir  -- dunia menyaksikan bagaimana Presiden Prabowo Subianto hadir bersama para pemimpin dunia membicarakan jalan menuju perdamaian di Timur Tengah —wilayah yang selama puluhan tahun dilanda konflik, terutama di Palestina.


Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, dalam pernyataan resminya menyebut bahwa perang di Gaza telah berakhir. “Setelah bertahun-tahun penderitaan dan pertumpahan darah, perang di Gaza telah berakhir. Bantuan kemanusiaan telah mengalir, termasuk ratusan truk berisi bantuan pangan dan kesehatan,” ujar Trump. Ia juga menegaskan bahwa warga sipil telah kembali ke rumah, para sandera telah berkumpul kembali dengan keluarga, dan dunia kini memiliki harapan baru akan kedamaian.

Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya kabar baik itu. Dalam momen yang diabadikan kamera internasional, Trump menoleh ldan menyebut, “Bersama dengan kita adalah Presiden Prabowo, sosok luar biasa dari Indonesia.” Ia menjabat tangan Prabowo dengan hangat—gestur simbolis yang memperlihatkan pengakuan dunia terhadap peran diplomasi Indonesia.

Bagi Indonesia, ini bukan sekadar diplomasi seremonial. Dukungan terhadap Palestina dan perdamaian Timur Tengah telah menjadi garis panjang dalam sejarah politik luar negeri Indonesia. Sejak era Presiden Soekarno, posisi Indonesia terhadap Palestina tidak pernah berubah: mendukung penuh kemerdekaan dan menolak segala bentuk penjajahan.


Sejarah, Moral, dan Konstitusi

Dukungan Indonesia terhadap Palestina berakar kuat pada sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa sendiri. Indonesia memahami betul penderitaan sebuah bangsa yang dijajah dan dirampas haknya atas tanah air. Karena itu, sejak Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, Indonesia selalu menempatkan isu Palestina sebagai agenda utama dalam setiap forum internasional.


Selain faktor sejarah, ada dasar moral dan konstitusional yang jelas. Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan. Amanat ini bukan sekadar kalimat idealistik, melainkan kompas moral yang menuntun arah politik luar negeri Indonesia: bebas dan aktif. Bebas berarti tidak terikat pada blok mana pun, dan aktif berarti berperan nyata dalam memperjuangkan perdamaian dunia, termasuk di Palestina.

Maka, ketika Indonesia mendukungz perjuangan rakyat Palestina, itu bukan karena faktor agama semata, tetapi karena prinsip kemanusiaan dan keadilan universal. Palestina bukan sekadar isu keislaman, melainkan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan global.


Kehadiran Presiden Prabowo dalam KTT Sharm El-Sheikh menunjukkan babak baru diplomasi Indonesia. Di tengah pergeseran geopolitik dunia, Indonesia tampil sebagai jembatan antara Barat dan dunia Islam, antara kekuatan besar dan negara-negara berkembang.


Pernyataan apresiatif Trump terhadap Prabowo menunjukkan bahwa Indonesia kini dipandang sebagai mitra strategis yang kredibel. Tidak lagi hanya sebagai penonton atau moral force, tetapi sebagai actor yang mampu mendorong konsensus global. Indonesia berperan menyalurkan bantuan kemanusiaan, memfasilitasi dialog lintas pihak, hingga menegaskan pentingnya solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan keluar damai yang adil dan permanen.

Di berbagai forum internasional seperti PBB, OKI, dan G20, Indonesia selalu menyerukan penghentian kekerasan, akses bantuan bagi korban sipil, serta pengakuan terhadap hak bangsa Palestina untuk merdeka dan berdaulat.


Konsistensi ini juga terlihat dalam tindakan konkret. Indonesia secara rutin mengirimkan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina, baik melalui pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil. Rumah sakit Indonesia di Gaza, misalnya, adalah salah satu simbol nyata solidaritas bangsa.


Bagi Indonesia, perdamaian di Timur Tengah tidak hanya penting bagi stabilitas kawasan, tetapi juga bagi keamanan global. Konflik berkepanjangan di wilayah itu selalu menjadi sumber ketegangan politik, radikalisme, dan krisis kemanusiaan yang efeknya bisa menjalar ke seluruh dunia.


Karenanya, setiap upaya untuk mengakhiri perang dan membuka ruang dialog adalah bagian dari investasi kemanusiaan yang lebih besar. Indonesia memandang perdamaian bukan sebagai kepentingan satu pihak, tetapi sebagai tanggung jawab bersama umat manusia.


Keterlibatan aktif Indonesia di KTT Sharm El-Sheikh menjadi bukti bahwa amanat konstitusi masih hidup. Politik luar negeri Indonesia bukan sekadar wacana, tetapi tindakan nyata untuk mewujudkan dunia yang damai dan berkeadilan.

Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, Indonesia berkewajiban “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Dalam konteks ini, perjuangan Palestina bukan hanya perjuangan bangsa lain, melainkan juga cermin komitmen Indonesia pada nilai-nilai kemanusiaan.

Perdamaian di Timur Tengah tentu tidak akan datang seketika. Akan ada liku, tarik-menarik kepentingan, bahkan mungkin kekecewaan. Namun, seperti kata Bung Karno, “Kita bukan bangsa tempe. Kita bangsa yang mau berjuang.” Semangat itulah yang kini dibawa Indonesia ke meja perundingan dunia.

Ketika dunia mulai jenuh oleh perang dan kekerasan, Indonesia hadir membawa pesan moral: bahwa keadilan adalah pondasi perdamaian sejati. Dan di tengah sorotan dunia, Indonesia kembali meneguhkan jati dirinya—sebagai bangsa yang tidak hanya mencintai kemerdekaan, tetapi juga memperjuangkannya untuk semua umat manusia.