Majma'al Bahrain dan Kepemimpinan Magis
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 18 Juli 2022 08:54 WIB
Oleh: Amidhan Shaberah, Ketua MUI (1995-2015)
ORBITINDONESIA - Ribut-ribut masalah pelecehan seksual di pondok pesantren (ponpes) Majma'al Bahrain Siddiqiyah (MBS) -- seakan mengulang cerita lama. Kasus pelecehan seksual yang terjadi di ponpes sudah seringkali terjadi.
Sebagaimana halnya kasus pelecehan seksual di lembaga pendidikan yang lain. Termasuk di berbagai kampus di Indonesia.
Yang jadi masalah, pelecehan seksual di ponpes MBS adalah pelakunya putra kyai, dengan panggilan akrab Mas Bechi. Ia penerus ayahandanya KH Muchtar Mu'thi, pendiri ponpes MBS sekaligus mursyid tarekat Siddiqiyah.
Baca Juga: Piala Presiden: Meskipun Hanya Runner Up, Borneo FC Meraih Banyak Gelar
Masalah berikutnya, Kyai Muchtar selama ini selalu membela putranya, meski banyak laporan dari santriwati korban pelecehan seksual tadi. Yang bikin publik geleng-geleng kepala, hampir semua santri dan alumni ponpes MBS membela Kyai Muchtar dan Mas Bechi.
Sampai- sampai polisi yang hendak menangkap Mas Bechi dihalang-halangi para santri MBS. Tayangan di tivi dan sosial media terhadap kasus tersebut membuat publik geleng-geleng kepala. Kok bisa?
Begitulah faktanya. Seorang pemimpin ponpes, apalagi guru tarekat, ternyata memiliki kharisma yang luar biasa di mata santrinya. Seperti kharisma wali atau nabi. Kyai kharismatis tersebut -- pinjam bahasa Inggris -- can do no wrong!
Ia tidak bisa berbuat salah. Karena apa yang dilakukannya, walau secara kasat mata publik dianggap salah -- hakikatnya benar juga. Begitulah.
Baca Juga: Piala Presiden: Menang di Malang, Arema FC Juara di Samarinda, Aremania pun Riuh
Kenapa demikian? Sosiolog asal Brazil, Paulo Freire (PF) mencoba menganalisis masalah kepemimpinan di masyarakat. Menurut PF, kepemimpinan di masyarakat mempunyai tiga level yang terkait dengan kesadaran budaya manusia. Yaitu kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis.
Pertama, kesadaran magis. Ini merupakan kesadaran paling rendah yang dimiliki oleh manusia. Tulis Freire, orang dengan kesadaran ini melihat kehidupan mereka sebagai sesuatu yang tidak terelakkan, natural dan sulit diubah.
Mereka cenderung mengaitkan kehidupannya dengan takdir, mitos dan kekuatan superior yang tidak terbukti secara empiris maupun ilmiah.
Orang dengan kesadaran ini menganggap apa pun yang dilakukan oleh pimimpinnya adalah perintah langit. Atau perintah magis spiritual. Pelakunya tak bisa disalahkan.
Baca Juga: Koentjoro Soeparno: Hasrat, Keinginan, Niat, Adalah Sumber Kehidupan yang Terdalam
Apapun yang dilakukannya, termasuk pelecehan seksual, sekadar masa transisi dari si pelaku untuk mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi. Itulah yang terjadi pada kasus Mas Bechi di Jombang sehingga ia tetap dibela santri MBS.
Masyarakat Indonesia banyak yang masih berkubang di tingkat kesadaran magis. Mereka tidak sadar diperlakukan tidak adil oleh "pemimpin" spiritualnya. Mereka sami'na wa ato' na terhadap titah dan perintah pemimpinnya. Tampaknya itulah yang terjadi pada komunitas santri MBS.
Kedua, kesadaran naif. Paulo Freire menyebutnya sebagai kesadaran semi-intransitif. Manusia pada tingkat kesadaran ini telah bisa menjadi subjek yang mampu berdialog dengan yang lain, tapi belum sampai pada tahap memahami realitas dalam true act of knowing.
Mereka mampu memahami masalah yang mereka alami, namun mereka cenderung untuk menyepelekan dan tidak mengujinya secara cermat. Sehingga mereka sangat rentan dimanipulasi oleh elit pemimpin lewat propaganda, slogan, bahkan mitos sekali pun.
Baca Juga: Sindung Tj: Pandemi Covid-19 Mematangkan Keaslian Manusia
Ketiga, kesadaran kritis. Ini kesadaran paling tinggi dalam budaya manusia. Manusia dalam kesadaran ini mampu berpikir dan bertindak sebagai subjek serta mampu memahami realitas keberadaannya secara menyeluruh.
Mereka mampu memahami masalah baik dan buruk baik secara tekstaual maupun realitas. Kata PF -- “Kesadaran kritis tidak bisa diimpose atau diturunkan dari langit. Tapi dilahirkan melalui belajar ilmu pengetahuan dan usaha yang terus menerus untuk berpikir obyektif dan rasional."
Di masyarakat modern, yang harus dikembangkan adalah kesadaran kritis. Melalui kesadaran kritis, kepemimpinan dapat dikontrol masyarakat. Dan masyarakat pun mampu menghadirkan kepemimpinan yang baik melalui pilihan-pilihan yang berbasis kapasitas intelektual, meritokrasi, dan integritas. ***