Analisis Daniel Long: Ada Apa Sebenarnya Dengan Kerusuhan di Indonesia?
Oleh Daniel Long*
ORBITINDONESIA.COM - Indonesia, negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia, telah menempuh jalur industrialisasi, ketahanan energi, dan kemandirian teknologi. Indonesia menempati peringkat ke-12 dunia dalam kategori Manufacturing Value Added (MVA).
Pada Januari lalu, Indonesia resmi menjadi anggota penuh BRICS, bergabung dengan Global Majority yang meninggalkan tatanan ekonomi yang didominasi dolar AS. Indonesia berhasil menolak doktrin neoliberalisme Barat tentang deindustrialisasi dan ketergantungan impor yang membuat sebagian besar kawasan tetap miskin dan terbelakang.
Dengan mengadopsi politik luar negeri independen dan menolak mengikuti agenda “Pivot” Washington untuk memisahkan diri dari Tiongkok, Indonesia telah membangun populasi kelas menengah mandiri di ASEAN. Bagi Amerika, Indonesia adalah penghalang karena negara ini tidak akan mendukung mereka ketika akhirnya memutuskan berperang dengan Tiongkok atas Taiwan.
Kelompok hak asasi manusia dan organisasi media Indonesia seperti Remotivi, Project Multatuli, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, yang mendukung kerusuhan melawan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang baru setahun berjalan dan mengutuk polisi, didanai oleh National Endowment for Democracy (NED), sebuah LSM yang dibiayai pemerintah AS.
Allan Weinstein, salah satu pendiri NED, pernah mengakui bahwa lembaga ini melakukan pekerjaan yang dulu dilakukan CIA, badan intelijen utama AS. Project Multatuli bahkan mengakui di situs webnya adanya kolaborasi dengan Open Society Foundations milik miliarder liberal George Soros yang terkenal kerap mendestabilisasi negara. International Republican Institute (IRI) yang berkantor pusat di Washington merupakan komponen inti NED dan bekerja bahu-membahu untuk mendestabilisasi pemerintahan yang menentang perintah AS.
Di balik tampilan protes organik oleh pekerja biasa, tersembunyi tangan-tangan pembuat onar neokolonial Amerika. Agenda mereka adalah memanfaatkan “idiot berguna” untuk mengacaukan ketertiban, dengan tujuan akhir melemahkan ekonomi Indonesia dan merongrong kedaulatannya.
Buku pedomannya sederhana: adu domba massa untuk menyerang aparat, lalu biarkan media aktivis, LSM, dan jurnalis membingkai respons aparat sebagai “pelanggaran,” sehingga mendorong lebih banyak warga tak curiga ikut bergabung. Dengan cara ini, entitas subversif tersebut mencap kerusuhan sebagai kemenangan demokrasi: perlawanan masyarakat sipil terhadap dugaan kediktatoran.
Politik luar negeri Indonesia menyeimbangkan interdependensi regional dan hubungan dagang dengan kekuatan besar, sambil tetap menempatkan kepentingan nasional sebagai prioritas utama. Setiap negosiasi dimanfaatkan untuk keuntungan rakyat.
Ideologi Perang Dingin yang usang, politik partisan, atau tekanan Washington tidak menentukan keputusan Jakarta. Sebagai negara-bangsa modern dan berdaulat, Indonesia menuntut penghormatan yang layak. Para pemimpinnya berpikiran jauh ke depan, visioner, kompeten, dan memiliki kemauan politik yang kuat—kualitas yang dianggap mengancam oleh Barat.
Indonesia melarang ekspor nikel mentah pada 2020, mengakhiri puluhan tahun praktik menjual sumber daya dengan harga murah ke Barat. Aturannya jelas: jika ingin nikel Indonesia, olah di sini dan ciptakan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Kebijakan ini memaksa perusahaan asing membangun smelter dan pabrik baterai EV di tanah Indonesia.
Uni Eropa menggugat ke WTO. AS dengan cepat membuat laporan yang menuduh adanya pekerja anak di industri nikel Indonesia. Namun Jakarta tetap teguh. Kini, Indonesia siap menjadi salah satu produsen baterai EV terbesar dunia. Tiongkok, produsen EV terbesar di dunia, menanggapi serius tawaran ini.
Perusahaan raksasa seperti CATL dan Tsingshan Holding Group menanamkan investasi miliaran dolar untuk membangun smelter, pabrik katoda, dan pabrik baterai di Sulawesi dan Morowali. Proyek ini menciptakan ribuan lapangan kerja, mentransfer teknologi, melatih insinyur lokal, dan membangun ekosistem EV dari tambang hingga perakitan.
Indonesia juga merundingkan kesepakatan eksplorasi minyak bersama dengan Tiongkok di Laut Natuna meski ada klaim wilayah yang tumpang tindih. Hasilnya: solusi win-win yang memungkinkan pembangunan bersama sekaligus menghindari konfrontasi militer. Jakarta juga bermitra dengan Beijing untuk membangun jalur kereta cepat.
Indonesia menolak bergabung dengan rezim sanksi AS terhadap Rusia. Sebaliknya, melalui perusahaan minyak negara Pertamina, Indonesia membeli minyak Rusia dengan diskon besar, memastikan bahan bakar terjangkau dan ketahanan energi tetap terjaga. Mengabaikan tekanan politik Barat, Pertamina memperluas kapasitas kilang dengan minyak Rusia murah, memodernisasi kilang, mengekspor bahan bakar secara kompetitif, dan melindungi ekonomi dari gejolak harga global.
Jakarta juga tegas pro-Palestina. Awal bulan ini, Indonesia mengecam rencana Israel untuk menduduki Gaza, menyerukan Dewan Keamanan PBB menghentikan genosida Israel, dan mendesak negara-negara untuk mengakui Palestina sebagai negara.
Kerusuhan tidak organik di Indonesia bukan tentang demokrasi, hak, atau kebebasan, melainkan contoh dari trik imperial lama Washington. Amerika Serikat tidak bisa mentolerir negara Global South yang menolak tunduk, mengembangkan industrinya sendiri, berdagang dengan Tiongkok dan Rusia secara setara, menegaskan kedaulatan di ASEAN, dan menolak dipaksa meninggalkan Palestina.
Kebangkitan Jakarta menakutkan Barat karena membongkar mitos bahwa kemakmuran hanya bisa diraih dengan mengikuti resep Bank Dunia dan IMF. Apa yang Amerika sebut “gerakan masyarakat sipil” pada kenyataannya hanyalah operasi destabilisasi outsourcing yang dirancang untuk menciptakan kekacauan dan mengeksploitasi keluhan nyata.
Apa yang mereka lakukan terhadap Jakarta hari ini, sudah mereka lakukan terhadap Manila empat puluh tahun lalu dengan EDSA. Amerika tidak bisa membiarkan kawasan negara berdaulat bangkit di luar orbitnya. Itulah mengapa Indonesia diserang, dan itulah mengapa seluruh ASEAN harus menyadari tipuan ini—karena jika Jakarta tumbang, maka seluruh kawasan akan menjadi target berikutnya.
*Daniel Long menulis untuk berbagai surat kabar dan jurnal geopolitik, termasuk The Manila Times dan Asian Century.***