Membaca Ulang “The Sacred and The Profane” Karya Mircea Eliade
- Penulis : Khoirotun Nisak
- Jumat, 27 Juni 2025 14:15 WIB
.jpg)
ORBITINDONESIA.COM - Di tengah zaman modern yang serba rasional dan fungsional, kita cenderung melihat dunia sebagai tempat yang datar, biasa, dan tanpa makna mendalam.
Namun dalam bukunya yang monumental, The Sacred and The Profane: The Nature of Religion, Mircea Eliade mengajak kita untuk kembali menyadari bahwa bagi manusia tradisional, dunia justru dipenuhi oleh makna spiritual.
Menurut Eliade, tidak ada yang sekadar "biasa". Segala sesuatu—batu, pohon, langit, tanah, bahkan rumah dan waktu—bisa menjadi wahana kehadiran yang ilahi.
Baca Juga: Buku Karen Armstrong, The Lost Art of Scripturalism
Buku ini bukan hanya studi agama, tetapi juga jendela untuk memahami cara manusia purba dan religius memaknai eksistensinya.
Eliade, seorang sejarawan agama kelahiran Rumania, memetakan bagaimana manusia sepanjang sejarah membedakan dunia menjadi dua wilayah pengalaman: yang sakral (suci) dan yang profan (biasa, duniawi).
Dalam struktur kehidupan manusia religius, pengalaman sakral bukanlah pelengkap spiritualitas, melainkan pusat kehidupan.
Baca Juga: Buku John Palmeyer, “Ketika Iman Jadi Ancaman: Refleksi Kritis dalam Is Religion Killing Us?”
Sakral adalah apa yang "menghancurkan" batas-batas duniawi dan membuka akses ke realitas ilahi.
Dalam buku ini, Eliade menjelaskan konsep hierofani—momen ketika yang ilahi menyatakan dirinya di dalam objek duniawi. Misalnya, sebuah batu atau gunung tidak lagi hanya benda fisik, tapi menjadi "tempat" kehadiran Tuhan.
Lewat fenomena ini, manusia menciptakan pusat-pusat kosmis, membangun kuil atau rumah sebagai simbol "pusat dunia", dan bahkan mengatur waktu berdasarkan ritus suci.
Baca Juga: The 7 Habits of Highly Effective People: Membaca Ulang Makna Kebiasaan Stephen Covey
Bagi Eliade, inilah cara manusia menemukan makna dan arah hidupnya: dengan menghubungkan hidup sehari-hari dengan yang transenden.
Buku ini juga sangat kuat dalam menjelaskan bagaimana ritual, mitos, dan simbol bukan sekadar dongeng budaya, tapi merupakan struktur kesadaran manusia.
Dalam mitos, manusia tidak sekadar bercerita, tapi "menghidupkan kembali" kejadian sakral. Dalam ritual, mereka “menyusun ulang” waktu profan menjadi waktu sakral. Semua ini adalah upaya untuk melarikan diri dari kekacauan dan memberi kehidupan tatanan yang suci dan kosmis.
Namun, kekuatan terbesar buku ini sekaligus menjadi titik tantangan. Gaya penulisan Eliade tergolong akademik dan cukup padat. Ia sering mengutip beragam tradisi keagamaan secara lintas benua—dari agama suku, Hindu, Yahudi, Kristen, hingga kepercayaan asli—yang bisa membuat pembaca awam merasa tersesat di antara simbol dan istilah.
Di sisi lain, inilah kekayaan bukunya: ia menyajikan lensa komparatif dan lintas budaya yang sangat jarang ditemukan dalam buku-buku spiritualitas populer.
Buku ini sangat penting terutama di era modern ketika kita terlalu cepat membuang yang “suci” dari hidup kita. Eliade mengingatkan bahwa manusia bukan hanya makhluk rasional, tapi juga makhluk simbolik dan spiritual. Kehilangan rasa sakral adalah kehilangan orientasi hidup.
Maka, membaca The Sacred and The Profane seperti diajak menyelami arsitektur spiritual kehidupan: bagaimana manusia menandai ruang, waktu, dan eksistensi dengan kesadaran bahwa hidup ini tak sepenuhnya profan.
Dalam dunia yang semakin terjebak pada efisiensi dan logika, buku ini menyentuh sisi terdalam kita: bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rutinitas harian—yakni rasa terhubung dengan yang lebih besar, lebih kudus, dan lebih bermakna.***