DECEMBER 9, 2022
Kolom

Mengapa Aceh Bangkit Lagi? Lebih dari Pulau, Ini tentang Identitas dan Kedaulatan

image
Mahasiswa Aceh bergerak menuntut empa pulau disengketakan dengan Sumatra Utara. (Instagram @aceh viral)

Dan karena itu, jalanan—atau dalam kasus Aceh: lautan dan pulau—menjadi forum politik yang paling otentik. Dalam Why Civil Resistance Works, Erica Chenoweth menunjukkan bahwa protes sipil yang terorganisir secara damai memiliki efektivitas dua kali lipat lebih tinggi dibanding protes bersenjata.

Bahkan keterlibatan 3,5% populasi secara aktif sudah cukup untuk mengubah arah kebijakan nasional.

Aceh sedang mendekonstruksi cara kita memahami demokrasi. Mereka mengingatkan bahwa parlemen bukan satu-satunya tempat rakyat bisa bicara. Bahwa di luar ruang-ruang formal, masih ada medan politik yang sah: yaitu tubuh yang rela hadir, suara yang berani berseru, dan tanah yang dijaga secara fisik.

Baca Juga: Mengurai Sengketa Kepemilikan Empat Pulau Antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara

Dalam hal ini, masyarakat Aceh tidak menolak negara—mereka sedang mengajari negara bagaimana cara mendengarkan.

Kemarahan mereka bukan kebencian. Itu adalah cinta yang terluka. Cinta pada tanah, pada sejarah, dan pada hak untuk diakui sebagai warga negara yang setara. Maka aksi mereka adalah bentuk kesetiaan yang diuji: kesetiaan pada demokrasi yang dijanjikan tapi belum ditepati.

Aceh juga sedang memberi pelajaran besar tentang bagaimana politik bisa dijalankan tanpa kekerasan, tapi tetap keras. Tanpa peluru, tapi tetap berdampak. Tanpa ancaman, tapi tetap menggetarkan.

Baca Juga: Pemerintah dan DPR Aceh Tempuh Jalur Non-Litigasi untuk Polemik Empat Pulau

Jika pemerintah pusat cukup bijak, ini adalah saat yang tepat untuk membuka ruang dialog. Bukan untuk membela SK yang keliru, tapi untuk mengakui bahwa mungkin kali ini, rakyat lebih tahu soal tanahnya sendiri.

Dan jika ini dibiarkan—jika negara bersikeras untuk memaksakan kehendak tanpa mendengar rakyatnya sendiri—maka kita sedang mengukir babak baru dari represi administratif. Kita sedang memperluas luka yang selama ini ditambal, bukan disembuhkan.

Aceh pernah berdarah demi pengakuan. Tapi kali ini mereka turun dengan damai. Mereka tidak memanggil perlawanan lama, tapi merawat luka baru.

Baca Juga: Komisi II DPR RI Segera Panggil Mendagri serta Gubernur Aceh dan Sumatra Utara tentang Sengketa 4 Pulau

Mereka tidak membawa senjata, tapi membawa ingatan dan keberanian untuk berkata: “Tanah ini milik kami bukan karena peta, tapi karena sejarah dan kehidupan.”

Halaman:

Berita Terkait