DECEMBER 9, 2022
Kolom

Suara Indonesia: Jalan Baru ANTARA, RRI dan TVRI

image
Direktur Utama (Dirut) TVRI, Iman Brotoseno (ANTARA/HO-LPP TVRI)

Oleh Eko Wahyuanto*

ORBITINDONESIA.COM - Wakil Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari baru-baru ini menyinggung arah dan positioning tiga lembaga penyiaran milik negara, yakni RRI, TVRI, dan LKBN ANTARA.

Dalam wawancara di sebuah stasiun televisi nasional, ia menyampaikan bahwa ketiganya perlu ditata ulang agar mampu menjawab tantangan zaman secara lebih efisien dan strategis. Pernyataan itu kembali membuka ruang diskusi tentang integrasi media negara.

Baca Juga: Gubernur Lampung Minta TVRI Tayangkan Kreativitas Anak Muda

Wacana penggabungan ketiga lembaga sebenarnya telah lama mengemuka. Gagasan dasarnya adalah menciptakan ekosistem media negara yang lebih kuat, ramping, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi informasi. Kini, momentum itu tampaknya hadir melalui pembahasan Rancangan Undang-Undang Radio dan Televisi Republik Indonesia (RUU RTRI) di Komisi VII DPR RI.

UU Penyiaran nomor 32 Tahun 2002 dalam Pasal 14 ayat 1 dan 2 mengidentifikasi Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai lembaga penyiaran berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara dan berfungsi sebagai sarana komunikasi massa bagi masyarakat.

Kedua lembaga, seperti dijelaskan dalam Pasal 15 UU tersebut, bertugas menyediakan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta mempromosikan kehidupan demokrasi, keanekaragaman budaya, dan pelestarian lingkungan hidup; meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya; dan menyediakan akses bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi, serta meningkatkan kualitas dan aksesibilitas informasi bagi masyarakat.

Baca Juga: Pengamat Abdul Hamim Jauzie: TVRI Sukses Siarkan Pilkada Serentak 2024 Secara Berimbang

Sementara itu, Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, sesuai Keputusan Presiden Nomor 307 Tahun 1962 yang diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1966, bertugas menyediakan informasi yang akurat dan objektif kepada Masyarakat dengan status sebagai kantor berita nasional.

Ketiga lembaga itu memiliki visi dan misi hampir sama. Ketiganya juga mendapat dana dari APBN, kecuali LKBN ANTARA melalui skema Public Service Obligation atau PSO. Artinya secara pendanaan ketiganya melibatkan peran pemerintah. Maka, penyatuan dalam satu ekosistem media negara dinilai sebagai langkah logis untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.

Atas dasar itulah kemudian banyak kalangan berharap ketiga media itu disatukan dalam sebuah holding atau korporasi, sehingga lebih efisien. Gagasan penyatuan tersebut makin menggema dalam pembahasan RUU Radio dan Televisi Republik Indonesia atau RTRI di Komisi VII DPR RI.

Baca Juga: Kepolisian Temukan Beberapa Obat di Kamar Hotel Wartawan Media Online Situr Wijaya yang Ditemukan Meninggal

RUU RTRI yang saat ini masih digodok, antara lain mengusulkan penggabungan RRI dan TVRI menjadi Lembaga Penyiaran Publik Radio dan Televisi Republik Indonesia - LPP RTRI. Selain untuk efisiensi, penggabungan dapat menciptakan efektivitas dan peningkatan kualitas siaran publik, serta memperkokoh fungsi lembaga dalam menyediakan informasi dan hiburan berkualitas.

Sayangnya, dalam pembahasan RUU RTRI, LKBN ANTARA belum secara eksplisit disertakan. Ini disebabkan perbedaan bentuk kelembagaan. Padahal, semangat konvergensi media menuntut sinergi penuh, bukan pengelompokan sektoral.

Konvergensi Media

Baca Juga: Presiden Prabowo Gelar Dialog dengan Tujuh Jurnalis Nasional dari Grup Media Besar

Konsep konvergensi muncul jauh sebelum kehadiran teknologi digital dan internet. Pertama disampaikan Nicholas Negroponte dari Massachusetts Institute of Technology pada tahun 1978, untuk menggambarkan kerja sama kalangan industri media saat itu. Namun konsep "konvergensi media" bertumbuh sejak transformasi digital melanda dunia.

Henry Jenkins, seorang ahli media Amerika, mempopulerkan konsep konvergensi media melalui bukunya berjudul Convergence Culture: Where Old and New Media Collide pada tahun 2006. Menurut Jenkins, konvergensi media merupakan aliran konten di beberapa platform media, secara kolaboratif, yang memungkinkan publik mendapatkan informasi di berbagai platform dalam satu kanal, dengan berbagai aktivitas secara interaktif.

Dengan media berbasis digital, industri penyiaran lebih mudah mengontrol program layanannya dalam bentuk teks, audio, dan visual.

Baca Juga: Kreator Era AI Akan Diskusikan Tren Penggunaan AI di Media Massadengan Narasumber Tri Suharman

Hal senada disampaikan pakar komunikasi Flow dan Burnett & Marshall, bahwa konvergensi media berpijak pada tiga poin penting, yaitu computing & information technology, communication network, dan digital content.

Ketiga sistem tersebut menawarkan konsep jaringan media sosial yang lebih mudah dan murah, berbagai model interaksi dalam ruang global yang borderless atau tanpa batas, didukung kehandalan produk teks atau gambar, audio, dan video melalui berbagai platform, seperti media sosial, situs web, atau aplikasi konten digital.

Semua program dapat dikemas secara terintegrasi melalui platform digital. Tren inilah yang menggeser cara orang berkomunikasi secara berlangganan sesuai permintaan atau subscription - based on demand.

Baca Juga: Tonton Qodrat 2, Wakil Gubernur Rano Karno: Film Media Efektif untuk Sampaikan Pesan

Suara Indonesia

Dalam skema ideal, RRI, TVRI, dan LKBN ANTARA dapat digabungkan dalam satu entitas payung bernama “Suara Indonesia”. Sebagai holding atau korporasi besar, mereka tetap mempertahankan nama dan identitas masing-masing --RRI, TVRI, dan ANTARA-- namun dikelola secara terintegrasi dari sisi anggaran, sumber daya, dan infrastruktur.

Korporasi ini bisa ditempatkan di bawah koordinasi Sekretariat Negara atau kementerian yang relevan. Tujuannya bukan untuk menghilangkan sejarah atau identitas lembaga, melainkan untuk menyatukan arah dan memperkuat efektivitas kelembagaan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: PHK Massal di Media Massa dan Lahirnya Angkatan Displaced Journalists

Kita tidak boleh melupakan nilai historis ketiganya. Lahir dari era perjuangan kemerdekaan, lembaga-lembaga ini adalah saksi sekaligus alat perjuangan bangsa. Maka, penggabungan harus dilakukan dengan cermat agar tidak menghapus nilai simbolik dan fungsional mereka dalam sejarah Indonesia.

Selain itu, RUU RTRI harus menjamin independensi media negara. Jangan sampai konvergensi justru menyeret mereka kembali menjadi corong kekuasaan seperti masa lalu. Fungsi mereka sebagai media publik harus dijaga agar tetap netral, profesional, dan berada di atas semua kepentingan politik.

“Suara Indonesia” adalah gagasan strategis dan simbolik. Ia bukan hanya menyatukan tiga institusi penyiaran, tetapi juga semangat membangun media negara yang kuat, terpercaya, dan relevan dengan zaman. Sebuah rumah baru bagi suara rakyat, bukan sekadar saluran negara.

Baca Juga: Meneguhkan Peran Media Dalam Menyuarakan Isu Kawasan

*Dr. Eko Wahyuanto, Dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Komdigi Yogyakarta.***

Halaman:

Berita Terkait