Catatan Denny JA: Mereka Menemukan Cinta dan Menikah dalam Komunitas Puisi Esai
- Penulis : Arseto
- Senin, 12 Mei 2025 09:38 WIB

Mereka tak hanya berpelukan dalam malam.
Mereka menyusun dunia bersama.
Dengan pikiran.
Dengan tulisan.
Dengan cinta yang bertahan—bahkan ketika tubuh tak lagi ada.
-000-
Kisah Sartre dan Simone hanya referensi bagi cinta Aqilah dan Dion. Mereka hidup di zaman dan kultur yang berbeda.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Jangan Sampai Indonesia Menjadi Negara Tuan Tanah
Aqilah dan Dion bukan filsuf Prancis 1929. Mereka lahir di Indonesia, di tengah dunia Gen Z yang cepat, bising, dan sering kali dangkal.
Namun justru di tengah riuh itu, mereka memilih jalan yang sepi: menulis puisi esai.
Bukan puisi cinta yang mengawang-awang.
Tapi puisi yang menembus luka sosial, tubuh yang disakiti, harga diri yang dirampas.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengenali Tipe Personality, Perjalanan Pulang Menuju Diri
Dan di situlah mereka bertemu:
Bukan di pesta.
Bukan di perayaan algoritma.
Tetapi di ruang kata-kata yang jujur,
di layar handphone tempat puisi kini dibaca,
di mata yang membaca bait seperti menatap jiwa.
Kisah mereka mengingatkan kita:
Cinta sejati tak butuh gemuruh.
Ia hadir di ruang-ruang sunyi.
Ia tumbuh dari keberanian membuka diri.
Seperti Sartre dan Simone yang menyusun ulang filsafat kebebasan lewat cinta mereka, Aqilah dan Dion tengah menyusun ulang makna cinta di dunia sastra Gen Z.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Paus Baru di Era Artificial Intelligence
Cinta itu menjadi ruang belajar bersama.
Bukan sekadar untuk saling mengisi,
tapi juga saling menantang, saling menjaga keutuhan jiwa satu sama lain.Aqilah membawa ke dalam rumah tangganya keberanian perempuan yang pernah menulis luka.
Dion membawa kelembutan lelaki yang pernah menulis darah dan doa.