Pengantar Denny JA Untuk Buku 65 Puisi Esai: Kesaksian Zaman (2025)
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 16 April 2025 09:20 WIB

Dan puisi esai, yang menangkap peristiwa selagi debu masih beterbangan, sebelum kenyataan berubah menjadi arsip yang dingin.
Keduanya sama-sama ingin mengabadikan, tetapi mereka menempuh jalan yang berbeda.
Historical fiction lahir dari jeda waktu. Seorang penulis memilih sebuah peristiwa, biasanya yang sudah terjadi lebih dari lima puluh tahun lalu.
Ia menelusuri dokumen sejarah, membaca kesaksian, mewawancarai mereka yang tersisa dari masa itu. Kemudian, dengan kebebasan seorang novelis, ia menciptakan dunia di dalamnya—memperkenalkan tokoh-tokoh yang mungkin nyata, mungkin fiksi. (1)
Lalu ia menyusun dialog yang tak pernah benar-benar diucapkan, tetapi masuk akal dalam konteks zamannya.
Sejarah dalam historical fiction tidak lagi sekadar fakta, tetapi menjadi kisah yang lebih manusiawi. Ia bukan hanya tentang peristiwa besar yang dicatat dalam buku-buku akademik, tetapi tentang individu-individu kecil yang hidup di dalamnya.
Kita melihat Perang Napoleon bukan hanya sebagai strategi militer. Itu juga sebagai kehancuran yang merobek keluarga-keluarga dalam War and Peace karya Tolstoy.
Kita merasakan teror Perang Dunia II dari sudut pandang seorang gadis kecil dalam The Book Thief karya Markus Zusak.
Dengan historical fiction, sejarah dihidupkan kembali dalam bentuk yang bisa kita sentuh, yang bisa kita rasakan seolah-olah kita ada di sana.
Tetapi bagaimana dengan sejarah yang belum sempat menjadi masa lalu? Bagaimana dengan tragedi yang baru saja terjadi tadi pagi?