Catatan Denny JA: Di Balik Buku Demokrasi dengan Rekor Terbanyak 221 Penulis
- Sabtu, 28 Desember 2024 07:44 WIB
Ada yang mendukung pemerintah, ada yang kritis terhadapnya. Ada yang percaya pada suara petisi kolektif, ada yang memegang teguh independensi pribadi.
Bagi penulis berjiwa aktivis, petisi adalah tindakan konkret untuk melawan kebijakan yang dianggap merugikan demokrasi.
Mereka memandang menulis esai tanpa keberanian untuk menandatangani petisi sebagai sikap pasif, bahkan kompromis.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika 221 Penulis Bersaksi soal Pemilu dan Demokrasi di Indonesia, Tahun 2024
Menulis esai dianggap terlalu abstrak untuk menciptakan dampak langsung, sementara petisi kolektif adalah wujud nyata dari solidaritas.
Sinisme mereka berakar pada keyakinan bahwa penulis memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya menyuarakan opini, tetapi juga bertindak.
Bagi sebagian penulis, petisi kolektif justru membatasi kebebasan individu. Mereka khawatir isi petisi akan memaksa kompromi, mengurangi nuansa atau kedalaman pikiran mereka demi mencapai konsensus.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Retreat para Penulis untuk Kemerdekaan
Sebagai individu yang menghargai independensi, mereka menolak menjadi bagian dari tindakan kolektif yang mungkin mencederai orisinalitas visi mereka.
Sinisme mereka mencerminkan kecemasan bahwa suara kolektif kadang mengorbankan kejujuran personal demi kepentingan politis.
Penulis yang sudah berniat mundur dari organisasi berasal dari kekecewaan terhadap dinamika internal yang dianggap terlalu politis.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Dana Abadi untuk Festival Tahunan Puisi Esai
Bagi mereka, organisasi seperti SATUPENA seharusnya menjadi ruang netral untuk mengeksplorasi gagasan, bukan medan pertarungan politik praktis.