Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo Ajak Pemangku Kepentingan Bersinergi Hadapi Gejolak Global
- Penulis : M. Ulil Albab
- Sabtu, 30 November 2024 07:10 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengajak para pemangku kepentingan untuk menguatkan sinergi menghadapi gejolak global.
“Mari kita perkuat sinergi untuk melindungi negara, bangsa, dan rakyat dari gejolak global,” kata Perry Warjiyo dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2024 di Gedung BI, Jakarta, Jumat, 29 November 2024.
Menurut Perry Warjoyo, di bidang ekonomi, sinergi bauran kebijakan transformasi ekonomi nasional perlu semakin diperkuat, terutama dalam lima area penting.
Mulai dari sinergi memperkuat stabilitas makroekonomi dan stabilitas sisi keuangan, sinergi mendorong permintaan domestik (khususnya konsumsi dan investasi), sinergi meningkatkan produktivitas dan kapasitas ekonomi nasional, sinergi pendalaman keuangan untuk pembiayaan perekonomian, serta sinergi digitalisasi sistem pembayaran dan ekonomi keuangan digital nasional.
Dia menekankan bahwa stabilitas sangat penting bagi negara manapun untuk bisa tumbuh tinggi. Indonesia sendiri diakui secara internasional sebagai negara dengan disiplin tinggi dalam hal sinergi memperkuat stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
“Sinergi fiskal dan moneter yang sangat erat perlu semakin kita perkuat ke depan. Dalam pengendalian inflasi, defisit fiskal, stabilisasi rupiah, dalam penerbitan SPN (Surat Perbendaharaan Negara) pemerintah dan juga operasi moneter Bank Indonesia, juga efektivitas peraturan DHE-SDA (Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam). Sinergi KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) menjaga stabilitas sisi keuangan sekaligus implementasi Undang-Undang P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) dalam pengawasan dan resolusi permasalahan lembaga keuangan, pendalaman pasar keuangan, literasi keuangan, dan perlindungan konsumen,” ungkap Perry.
Dalam kesempatan tersebut, dia turut mendorong sinergi permintaan domestik melalui konsumsi yang sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi, khususnya golongan masyarakat bawah dengan perlindungan sosial dan penciptaan lapangan kerja.
Sektor padat karya perlu menjadi prioritas pemerintah, begitu pula dengan hilirisasi pertanian dan perikanan, perumahan (terutama perumahan rakyat), Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), ekonomi kreatif, hingga pariwisata.
Secara khusus, hilirisasi pangan dianggap mampu menciptakan lapangan kerja yang besar, mendukung pengendalian inflasi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan ini mengharuskan pula transformasi ekonomi di sektor riil.
“Produktivitas perlu kita naikkan lebih tinggi. Tingginya biaya investasi perlu kita turunkan, mengejar ketertinggalan PMA (Penanaman Modal Asing) dari negara tetangga. Karenanya, modal perlu kita naikkan dengan perbaikan iklim investasi, akselerasi realisasi PMA, dan mendorong sektor padat modal,” ujar Gubernur BI.
Selain itu, kenaikan tenaga kerja perlu didorong dengan pendidikan vokasi, termasuk sertifikasi profesi, dan stimulus di sektor padat karya. Kemudian, produktivitas dikejar dengan infrastruktur dan rantai pasok nasional beserta global. Digitalisasi ekonomi, sistem pembayaran, jasa keuangan, dan perkantoran juga bisa menaikkan produktivitas.
“Dengan sinergi kelima kebijakan transformasi ekonomi nasional tersebut, ekonomi Indonesia insyaAllah bisa tumbuh lebih tinggi, stabilitas makro ekonomi terjaga. Kami mendukung 40 proyek pemerintah dalam Astacita yang akan mendorong kapasitas dan produktivitas ekonomi nasional ke depan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi melalui peningkatan modal, penyerapan tenaga kerja, dan kenaikan produktivitas,” ucap dia.
Pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dengan kebijakan America First (kepentingan AS di atas kepentingan global), prospek ekonomi global disebut akan meredup pada tahun 2025 dan 2026.
Perry memaparkan lima karakteristik yang mencerminkan tanda-tanda ketidakpastian ekonomi dunia.
Pertama yaitu slower and divergent growth, yang berarti pertumbuhan ekonomi dunia akan menurun pada 2025 dan 2026. Ekonomi AS disebut akan membaik, sementara Tiongkok dan Eropa bakal melambat, serta India dan Indonesia masih cukup baik.
Kedua adalah penurunan inflasi dunia yang akan melambat pada dua tahun mendatang akibat gangguan rantai pasok dan perang dagang (re-emergence of inflation pressure).
Selanjutnya ialah penurunan Fed Funds Rate (FFR) akan lebih rendah, sementara US Treasury naik tinggi ke 4,7 persen pada 2025 dan 5 persen pada 2026 karena defisit fiskal dan utang pemerintah AS yang membengkak.
Kemudian yakni penguatan dolar AS dari 101 ke 107, dan hal ini bakal mengakibatkan tekanan depresiasi nilai tukar seluruh dunia, termasuk rupiah.
Terakhir, pelarian modal investor global dari emerging market ke AS karena suku bunga yang meningkat dan adanya penguatan dolar.***