Menkop UKM Teten Masduki Dorong Hilirisasi Komoditas Rempah Agar Peroleh Nilai Tambah Ekonomi
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Minggu, 13 Oktober 2024 02:21 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyatakan, hasil-hasil bumi seperti perkebunan, pertanian, perikanan, dan rempah tidak boleh lagi diekspor dalam bentuk bahan mentah, tetapi harus melalui proses hilirisasi guna mendapatkan nilai tambah ekonomi.
Dalam sebuah diskusi di Bogor, Sabtu, 12 Oktober 2024, Teten Masduki menyebut, rempah bisa diolah untuk industri bumbu, selain juga untuk masuk rantai pasok bagian industri farmasi, makanan-minuman, dan industri kecantikan.
“Kita harus samakan visi semua pihak untuk merancang bangun desain program mengarah ke hilirisasi rempah," kata Teten Masduki dalam siaran pers kementerian.
Baca Juga: Buntut Pelecehan Seksual di Lingkungan Kemenkop UKM, Ini Tanggapan Tegas Teten Masduki
Menurut Teten, teknologi untuk melakukan hilirisasi rempah juga tidak sulit, terlebih Kemenkop UKM telah membangun pabrik-pabrik skala kecil dan menengah untuk mengolah sumber daya alam yang ada menjadi produk setengah jadi atau jadi.
Sebagai contoh, Teten menyebut nilam Aceh kini telah diolah menjadi minyak atsiri berkualitas tinggi yang memenuhi standar industri. Minyak nilam Aceh bahkan sudah bisa diekspor langsung ke Paris untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan parfum.
Indonesia, kata dia, saat ini memasok sekitar 80 persen kebutuhan nilam dunia untuk industri parfum.
Baca Juga: Mantan Aktivis Antikorupsi Teten Masduki Bergabung ke PDIP
Selain nilam, juga sudah ada hilirisasi komoditas cabai yang diolah menjadi pasta. Begitu juga dengan cokelat yang sudah ada pabrik pengolahannya.
"Rempah bisa dikembangkan dan diolah menjadi bumbu untuk masuk ke pasar dunia. Makanan Indonesia masih tertinggal bila dibanding Thailand dan Vietnam. Mereka jauh dikenal masyarakat dunia," kata Teten.
Ia mengakui saat ini industri rempah-rempah Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan serius. Di antaranya, ketidakstabilan harga, kurangnya infrastruktur pendukung, permasalahan akses pasar, serta pengelolaan lingkungan yang kurang memperhatikan prinsip keberlanjutan.
"Rantai suplai yang belum terintegrasi dengan baik membuat banyak petani rempah berada dalam situasi ekonomi yang sulit. Sementara produk kita sering kali belum mencapai potensi nilai yang optimal di pasar global," ucapnya.