Toleransi Menurut Pandangan Reo Fiksiwan
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 03 September 2024 09:47 WIB
ORBITINDONESIA.COM - “Ada sekitar empat puluh juta penduduk di Eropa yang bukan anggota Gereja Roma; haruskah kita berkata kepada mereka masing-masing, 'Tuan, karena Anda dikutuk tanpa keraguan, saya tidak akan makan, berbicara, dan tidak akan mempunyai hubungan apa pun dengan Anda?” — Voltaire (1794-1878).
Ada apa dengan toleransi?
Pekan ini tangal 2-5 September 2024 di tengah riuh umat Katolik atas kedatangan pemimpin tahta suci Vatikan, Paus Fransiskus, Denny JA bersama organisasi penulis SATUPENA dan Esoterika menyelenggarakan Festival Toleransi di Galeri Nasional Jakarta.
Baca Juga: Imajinasi Faktual dalam Lukisan Denny JA
Lepas dari festival menyambut kedatangan Paus — ada pameran lukisan Paus versi artificial intelligence (AI), diskusi Gen Z dari umat Katolik, Bahai, Ahmadiyah, Hindu, Budha, dan display kanon kuno tentang pelbagai keyakinan agama.
Meski agama, satu-satunya hasil kebudayaan yang terus dipersoalkan — baik sebagai iman, kepercayaan maupun sekadar pengetahuan dan filsafat — ada tiga pentolan filsuf agama, Rudolf Otto (1869-1937), Mircea Eliade (1907-1986), dan Frithjof Schuon (1907-1998) memandang “gagasan suci“ the idea of holy mengundang bukan perihal teisme, ateisme, dan politeisme, namun problem kesenjangan dan kompleks dalam sebut saja iman, ada dualitas siklik dan kadang paradoks.
Eliade menyebut “cosmological return“ antara yang sakral dan profan maupun Schuon menekankan “the unity of transcenden“ antara yang eksoterik dan yang esoteris.
Baca Juga: Ketua KWI Antonius Subianto Bunjamin: Paus Fransiskus Bawa Misi Kemanusiaan ke Indonesia
Lantas apa upaya Festival Toleransi untuk mengimpuls kembali semangat — meminjam istilah moderasi agama versi kementerian gama yang lancung itu maupun involusi (degradasi kultivasi) ala Geerzt — dengan diskursus toleransi sendiri, khusus bagi kaum milenial.
Betapapun keragaman agama atau iman itu adalah keniscayaan sejarah dan secara teologis bersifat “given“, apa yang sepenuhnya dapat dimaknai dengan kata toleransi.
Dari etimologi bahasa latin, tolerare yang berarti “tindakan dan kemampung menanggung kesulitan (hardship) dan rasa sakit (bear to pain)“.
Baca Juga: Paus Fransiskus: Negosiasi Gencatan Senjata Gaza yang Sedang Berlangsung Tidak Boleh Terhenti
Karena itu, risalah ihwal toleransi muncul pertama pada abad-18 dari kritik Voltaire pada kasus Jean Calas, seorang penganut Protestan di tengah mayoritas Katolik di Prancis.