Inilah Pandangan Denny JA Tentang RUU Pilkada, Putusan MK, Kompetisi Politik, dan Tiga Berkah Proklamasi
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 25 Agustus 2024 09:49 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Karena terjadi di bulan Agustus, sebut saja ini berkah reformasi. Ini disebut berkah karena ujung dari dinamika politik ini justru lebih baik bagi penguatan demokrasi Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, protes mahasiwa, aktivis LSM, guru besar, Putusan MK, batalnya RUU Pilkada, berujung pada tiga berkah sekaligus.
Berkah pertama: kompetisi politik, yang merupakan fondasi demokrasi, kini lebih terbuka. Tak ada demokrasi tanpa kompetisi politik.
Baca Juga: Denny JA Melayani Anggota SATUPENA dengan Biaya Rp3,2 Miliar
Sebelum dinamika politik, di bulan Juli 2024, partai atau koalisi partai yang bisa mencalonkan kepala daerah adalah pemilik kursi DPR minimal 20 persen, atau pemilik suara 25 persen.
Kini di bulan Agustus, berkat putusan MK, protes mahasiswa, dan civil society, KPU dan DPR bersepakat menjalankan syarat yang lebih rendah.
Untuk boleh mencalonkan, partai atau koalisi partai cukup dengan persentase 10 persen sampai 6,5 persen, sesuai jumlah populasi penduduk.
Semakin rendah persentase persyaratan, semakin terbuka pula kompetisi politik. Ini menghindari tragedi dan komedi demokrasi: terjadinya Pilkada seorang calon hanya melawan kotak kosong.
Kini politik Indonesia lebih kompetitif. Semakin banyak partai yang bisa mencalonkan. Mahar politik untuk memperoleh dukungan partai bisa ditekan. Bahkan partai politik yang tak dapat kursi di legislatif potensial bisa ikut mencalonkan kepala daerah.
Berkah politik kedua: dinamika politik ini memberikan memori kolektif jangka panjang. Bahwa negara ini tak hanya berisi partai politik. Politik terlalu penting jika hanya diatur oleh partai politik.
Baca Juga: Denny JA Mengungkap Tiga Fakta Tercecer Sejarah Bangsa
Di dalam negara, juga ada civil society: aktivis, intelektual, penulis, para guru besar, LSM. Mereka juga berhak menentukan bulat lonjong negeri ini
Dalam sejarah Indonesia, civil society beberapa kali memainkan peran signifikan, seperti dalam peristiwa Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, tumbangnya Orde Lama 1966, dan tumbangnya Orde Baru 1998.
Dinamika ini menyadarkan kita bahwa negara Indonesia ternyata memiliki batas ambang toleransi. Jika ambang batas itu terlewati, tanpa dikomando, civil society bergerak.
Baca Juga: ORASI DENNY JA: Kisah Cinta Tanah Air di Dalam Film Eksil
Mereka yang terbiasa dengan politik praktis, dan memiliki kesadaran minimal soal politik akan bisa merasakan. Ada unsur spontan, kesedihan, keberanian, kemarahan, pengorbanan dari gerakan civil society jika yang mereka jaga adalah kewarasan dalam politik.
Berkah politik ketiga: kembali lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan civil society menuju harmoni yang baru, senada, satu kata, satu sikap.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah diberitakan akan membahas RUU Pilkada, yang mengembalikan apa yang sudah dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Yaitu syarat mencalonkan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara.
Baca Juga: ORASI DENNY JA: Dibatalkannya RUU Pilkada dan Pentingnya Kompetisi Politik
Jika RUU Pilkada itu jadi disahkan, akan lahir preseden ganjil dalam proses demokrasi. Yakni norma baru yang diciptakan Mahkamah Konstitusi, hasil dari judicial activism-nya, yang dalam kasus ini mengatur syarat persentase baru calon sah Pilkada 6,5 persen sampai 10 peren, bisa dibatalkan oleh UU baru DPR dan pemerintah.
Akan muncul kesan tafsir konstitusi dari MK dikalahkan oleh DPR dan pemerintah. Niscaya ini akan menjadi benih krisis kelembagaan dan distrust jangka panjang kepada lembaga negara.
Tapi kini, partai politik, DPR, lembaga presiden, membatalkan RUU Pilkada itu, dan berselancar dengan civil society, menghormati dan menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Tiga berkah proklamasi ini justru menjadi penutup yang baik dari pemerintahan Jokowi. Dan juga awal yang baik dari pemerintahan Prabowo Subianto.
Dinamika politik bulan Agustus ini meninggalkan berkah, pesan yang mendalam. Ternyata hadir kesadaran kolektif, invisible hand, tangan yang tak terlihat, yang menjaga ambang batas demokrasi.
Ini sekaligus juga menjadi pegangan bagi semua kita, untuk tidak melampaui batas, dan untuk berani menjaga semangat reformasi. ***
CATATAN:
(1) Tak ada demokrasi tanpa kompetisi politik
Sumber: IFPRI https://www.ifpri.org › blog Competitive elections are good for democracy – just not every