DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Desa Ramah Satwa, Solusi Mencegah Konflik Warga dengan Orang Utan Kalimantan yang Terancam Punah

image
Orang utan Kalimantan di kawasan rehabilitasi ANTARA/Rendhik Andika

ORBITINDONESIA.COM - Orang utan Kalimantan atau Pongo pygmaeus merupakan spesies orang utan asli Pulau Kalimantan yang juga sekaligus kerabat dekat manusia, dengan 97 persen DNA atau asam  deoksiribonukleat mereka sama dengan manusia.

Keberadaan orang utan Kalimantan ini sebenarnya memiliki nilai eksistensi yang tinggi di level internasional, seperti panda di China atau kanguru di Australia.

Meski satwa ini bernilai keistimewaan tinggi, orang utan Kalimantan--berdasar status konservasi--, "The International Union for Conservation of Nature" (IUCN) memasukkan orang utan dalam daftar spesies terancam punah sejak 1994.

Baca Juga: Lantamal Pontianak Kalimantan Barat Gagalkan Penyelundupan Satwa Liar di Kapal Vietnam

Spesies ini juga termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah (BKSDA Kalteng) Persada Agussetia Sitepu, penyebab adalah karena adanya perburuan liar dan perdagangan.

Penurunan populasi orang utan Kalimantan yang semakin hari mengalami penurunan akibat dari rusaknya habitat atau kerusakan hutan, kebakaran hutan, pembalakan hutan, menciutnya luas hutan yang berdampak pada semakin sempitnya wilayah tempat tinggal, serta berkurangnya pasokan makanan alami di hutan.

Baca Juga: FANTASTIS, Pedagang Lato Lato di Taman Margasatwa Ragunan Raup Laba Setengah Juta Hanya dalam Beberapa Jam

Kondisi tersebut menyebabkan orang utan berupaya mencari wilayah baru sebagai kawasan jelajah yang menjanjikan pangan, bahkan sampai merambah ke perkebunan milik perusahaan maupun ke perkebunan masyarakat.

Konflik antara orang utan dan manusia umumnya terjadi karena makin menyempitnya habitat alami fauna ini akibat deforestasi dan ekspansi lahan pertanian.

"Akibatnya, konflik (dengan manusia) ini pun tidak jarang menyebabkan hewan diurnal atau aktif di siang hari ini meninggal," kata Persada.

Baca Juga: Presiden Jokowi Diminta Tindak Tegas Pemilik Awetan Satwa Lindung, Khususnya di Ruang Ketua MPR

Strategi pencegahan konflik

Berdasarkan hasil analisis kelangsungan hidup populasi dan habitat (PHVA) orang utan 2016, saat ini diperkirakan terdapat 71.820 individu orang utan yang tersisa di Pulau Sumatera dan Borneo (Kalimantan, Sabah, dan Serawak) di habitat seluas 18.169.200 hektare.

Saat ini orang utan Borneo diperkirakan terdapat 57.350 individu di habitat seluas 16.013.600 hektare yang tersebar di 42 kantong populasi, 18 di antaranya diprediksi akan lestari dalam waktu 100--500 tahun ke depan.

Baca Juga: Lebih Dekat dengan Orangutan, Rekomendasi Cagar Alam di Kalimantan yang Menjadi Habitat bagi Orangutan

Kondisi ini memperbaharui fakta 10 tahun lalu yang menyebutkan bahwa populasinya diprediksi terdapat 54.817 individu di habitat seluas 8.195.000 hektare yang dilakukan di area kajian yang terbatas.

Untuk itu, guna mengurangi dan mencegah konflik antara manusia dan orang utan, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Pemerintah, organisasi nonpemerintah (LSM), perusahaan, dan masyarakat lokal.

BKSDA Kalteng selaku pihak yang berwenang melakukan konservasi juga terus melakukan sejumlah upaya, antara lain, melalui program konservasi dan rehabilitasi habitat.

Baca Juga: Solo Safari Sajikan Konsep Berbeda untuk Melihat Satwa-satwanya

"Saat ini pembangunan tetap berjalan dan kita juga berpacu dengan masalah lingkungan, maka kita terus upayakan kondisi tutupan hutan, baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi," kata Persada.

Dalam upaya menjaga keseimbangan hidup antara manusia dan orang utan, BKSDA juga melakukan pendekatan pengelolaan lanskap berkelanjutan dengan mengintegrasikan aktivitas manusia dengan konservasi alam.

Misalnya, perusahaan yang terlibat dalam produksi kelapa sawit, kayu, dan komoditas lain yang berpotensi merusak habitat, harus mematuhi standar keberlanjutan dan tanggung jawab sosial yang ketat.

Baca Juga: Pentingnya Meningkatkan Efektivitas Hukum untuk Atasi Perdagangan Spesies Kritis Orangutan Kalimantan

Bersama aparat penegak hukum, pihaknya juga melakukan penegakan hukum terhadap perburuan, penangkapan, dan perdagangan ilegal orang utan secara ketat dan tegas.

Pemerintah daerah bersama pihak terkait diminta juga membuat koridor-koridor perlintasan satwa.

BKSDA Kalteng juga terus menjalin kerja sama dengan organisasi nonpemerintah dalam upaya penyelamatan, rehabilitasi  dan pelepasliaran orang utan.

Baca Juga: Jami'yah Batak Muslim Indonesia Salurkan Hewan Kurban ke Pelosok Sumatra Utara Pada Iduladha 1445 H

Misalnya, di wilayah sekitar Palangka Raya ada Borneo Orangutan Survival (BOS) dan di wilayah Kotawaringin ada Orangutan Foundation International (OFI).

Pembentukan desa ramah satwa

Guna mengantisipasi konflik antara manusia dengan orang utan serta satwa lainnya, perlu meningkatkan keterlibatan masyarakat sekitar Kawasan hutan atau yang berbatasan langsung dengan hutan. Cara ini menjadi salah satu kunci sukses mencegah konflik manusia dengan satwa liar.

Baca Juga: Dokter Hewan Radhiyan Fadiar Sahistya Sarankan Jenis Kucing yang Cocok untuk Penderita Alergi

Keterlibatan masyarakat dan peningkatan pendidikan tentang pentingnya konservasi orang utan dan lingkungan serta penyadaran mengenai dampak negatif dari konflik manusia-satwa liar, dapat mengurangi konflik.

"Untuk memaksimalkan program tersebut Ibu Menteri LHK menetapkan Desa Tahawa sebagai Desa Ramah Satwa," kata Persada.

Desa Tahawa secara administratif berada di Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dari pusat Kota Palangka Raya, diperlukan waktu sekitar 1 jam 30 menit dengan kendaraan roda empat untuk sampai di desa ini.

Baca Juga: BKSDA Kalimantan Barat Investigasi Kematian Orangutan di Riam Berasap, Kabupaten Kayong Utara

Desa Tahawa bisa dikatakan beruntung karena memiliki hutan yang menjadi habitat berbagai satwa liar. Hutan desa ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri LHK SK. 10869/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2019 tanggal 31 Desember 2019 seluas 998 hektare.

Keberadaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang mengapit Desa Tahawa, menjadikan hutan desa masih menghadapi ancaman perburuan oleh masyarakat dari luar desa.

Namun demikian, kondisi itu menjadi peluang untuk menyukseskan penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati. Masyarakat Tahawa berkomitmen bahwa wilayah hutan harus tetap terjaga utuh beserta potensi keanekaragaman hayati berada di dalamnya.

Baca Juga: Bupati Marwan Hamami: Kabupaten Sukabumi Fokus Kendalikan dan Cegah Penyakit Zoonosis pada Hewan Ternak

BKSDA Kalteng sebagai pemangku penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati melakukan pendampingan masyarakat Desa Tahawa maupun desa-desa di sekitar lingkup Kecamatan Kahayan Tengah, guna mengembangkan konsep Desa Ramah Satwa.

Konsep Desa Ramah Satwa diharapkan akan menjadi solusi untuk menyediakan lokasi pelepasliaran satwa/translokasi hasil penyelamatan satwa di Kalimantan Tengah mengingat bahwa hingga saat ini masih terjadi interaksi negatif antara manusia dengan satwa liar.

Selama tahun 2022 terpantau beberapa jenis satwa yang dilindungi di Desa Tahawa, antara lain, orang utan, owa-owa, kelasi, burung seriwang, burung luntur puri, burung tiung batu, pelanduk, kijang, beruang, kucing hutan, tarsius, trenggiling, dan fauna lainnya.

Baca Juga: Tafsir Humanis Ibadah Kurban: Respon atas Esai Denny JA soal Kurban Hewan di Era Animal Right

Desa Tahawa pada masa mendatang bisa dikembangkan sebagai desa wisata yang dikelola masyarakat. BKSDA Kalteng juga terus melakukan pendampingan, edukasi, dan pelatihan kepada warga, misalnya, melatih pelacakan jejak hewan yang bisa dimanfaatkan oleh pemandu bagi para wisatawan pecinta hewan liar.

Adapun luas kawasan konservasi yang dikelola Balai KSDA Kalteng mencakup 539.296,67 hektare atau hanya sekitar 3,51 persen dari seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Tengah seluas 15.356.400 hektare.

Luas kawasan konservasi itu terbilang sangat kecil dibanding luas nonkawasan konservasi sehingga upaya konservasi keanekaragaman hayati juga perlu dilakukan di luar kawasan konservasi, salah satunya melalui Desa Ramah Satwa.

Baca Juga: Kurban Idul Adha Tanpa Hewan: Sebuah Tafsir Baru

Dengan demikian, masyarakat yang bermukim di desa tersebut dapat hidup berdampingan dengan satwa liar tanpa saling mengganggu sehingga kelestarian satwa liar dapat terjaga dan berkembang biak di area hutan yang berada di sekitar permukiman warga.

Saat ini BKSDA Kalteng juga terus melakukan pendataan desa-desa atau wilayah yang berpotensi dijadikan sebagai Desa Sadar Satwa. "Program melibatkan masyarakat inilah yang terus kami kembangkan di Kalimantan Tengah," kata Persada.

Sementara itu, Kepala BKSDA Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II Pangkalan Bun Dendi Sutiadi
menyebutkan wilayah kerjanya mencakup Kabupaten Kotawaringin Timur, Seruyan, Lamandau, Sukamara, dan Kotawaringin Barat. Pihaknya intens melaksanakan mitigasi dan membangun kemitraan dengan masyarakat.

Baca Juga: Pergulatan Reinterpretasi: Ritual Pengurbanan Hewan pada Idul Adha

Kemitraan tersebut yaitu dengan membentuk Desa Ramah Satwa, sebagai pionir bagi desa- desa lainnya untuk membagi ruang bagi satwa liar.

Selain itu, juga melakukan penyuluhan supaya masyarakat tidak melakukan perburuan, bahkan pembunuhan terhadap satwa liar.

Karena, hutan di Kalimantan memang menjadi rumah bagi satwa liar sehingga masyarakat perlu membagi ruang untuk satwa liar

Baca Juga: Memperluas Tafsir Kurban Hewan: Kurban Tak Sebatas Bahimatul An'am

Sosialisasi pada perusahaan-perusahaan di kawasan yang masih berhutan itu juga intens dilakukan guna mencegah aktivitas mereka mengganggu keberadaan satwa liar.

Menyelamatkan hutan beserta satwa liar di dalamnya memang harus dilakukan bersama-sama agar hutan tetap lestari dan masyarakat pun bisa sejahtera.***

Sumber: Antara

Berita Terkait