DECEMBER 9, 2022
Kolom

Denny JA adalah Sang Lawan Sesungguhnya dan Petarung yang Sebenanya: Sebuah Catatan dari Rahmi Isriana

image
Denny JA. (OrbitIndonesia)

ORBITINDONESIA.COM - Denny JA, saya mulai mengenal namanya jauh hari sebelum akhirnya bertemu langsung dengan sosoknya di tahun 2017.

Kala itu, yang saya sadari adalah bahwa dia memang memiliki kekuatan untuk memberi impresi pertama yang kuat membekas.

Salah seorang teman menyebutnya sebagai “Raja Impresi Pertama”. Jabat tangan yang erat, sapaan penuh ketulusan, bahkan ia meletakkan handphonenya ketika berbicara dengan kita.

Baca Juga: Inilah Analisis Denny JA Tentang Berubahnya Gibran dari Si Samsul Menjadi Game Changer Pilpres 2024

Saya rasa hal-hal semacam itu hanya dimiliki orang pribadi dengan profile yang lengkap.

Denny JA, menambah khasanah saya mengenai sosok dengan profile lengkap yang saya kenal.

Berawal dari profilenya sebagai penulis dan sastrawan, saya lantas mengenalnya sebagai seorang filantropis yang tak mengenal perbedaan.

Baginya, kemanusiaan ada diatas segala hal. Saya sudah malang melintang dengan kedermawanannya, saya rasa jika membicarakan kebaikan seorang Denny JA, bak menggarami lautan. Kita semua mungkin telah merasakan asin dari lautan kedermawanannya.

Namun kali ini, saya mendapat oase baru. Sebenarnya bukan hal baru tentang apa yang akan saya kemukakan, namun hal baru karena kali ini saya benar-benar mengikutinya dari awal hingga akhir.

Sosok Denny JA, sang legenda politik di Indonesia.

Berlebihan? Saya rasa tidak! Dia memang legenda.

Tahun 2024 tepat 7 tahun setelah saya mengenal Denny JA, saya mendapati macan yang mengaum. Baru kali ini saya melihat bagaimana sosok pemimpin LSI yang sesungguhnya.

Jika sebelumnya saya hanya mendengar atau membaca saja melalui berita, kali ini saya mengalaminya langsung. Sebuah kekayaan yang jelas tidak mudah memperolehnya. Ilmu dan khasanah politik yang benar-benar kaffah. Lengkap.

Saya dan suami mengerjakan project live streaming untuk konferensi pers LSI Denny JA.

Awalnya kami menganggap ini hanyalah sebuah cara untuk menyebarluaskan data hasil survey dari LSI Denny JA.

Saya mengikuti betul dari yang awalnya 3 bulan sekali, hingga kemudian sebulan 2 kali, dan terakhir seminggu 3 kali persis sebelum pencoblosan.

Semua data hasil survey tersebut, membuka mata saya. Bahwa semua ini benar sains. Ini semua ilmu pengetahuan. Namun ada yang lebih dari itu. Instink Denny JA itu sendiri, mengalahkan sains. Jauh di atas kebetulan.

Satu-satunya kemungkinan adalah dia memang mengasah instingnya, membuat sebuah hal gaib itu, menjadi nyata dan faktual.

Ketika survei menyebutkan bahwa Indonesia memiliki king dan queen maker, saya menyebut Denny JA sebagai si tangan emas.

Apapun yang dia sentuh akan jadi berharga, bernilai mahal “emas”. Termasuk momentum lima tahunan di Indonesia adalah hasil karya dari tangan emasnya.

Hari ini, bahkan ia telah menyentuh Pilpres sebanyak 5 kali, dengan kelimanya menjadi kilauan emas.

Dengan memenangkan 5 kali Pilpres berturut-turut, sebuah angka kemenangan yang muskil jika itu hanya sebuah kebetulan atau bahkan kecurangan. Bukankah curang ada kadaluarsanya?

Jika memang ia curang, maka tak mungkin 5 kali berturut-turut ia menang. Mereka mengatakan itu sains. Saya lebih percaya bahwa kekuatan sesungguhnya adalah instink kuat si tangan emas itu sendiri.

Sekarang ini, saya sedang terus merangkai puzzle. Semakin itu tergenapi, saya semakin geleng-geleng kepala. Mencengangkan, semua yang dia kerjakan itu bukan kebetulan, bukan kemujuran. Itu semua by design.

Direncanakan dengan cermat, akurat. Maka siapapun tak akan ada yang bisa mengelak, apa yang dilakukan Denny JA semua sangat matang. Tak bisa digugat, tak bisa disebut curang, tak bisa disebut dzalim. Tidak, sebab ia melakukan tepat di depan mata kita.

Ia bahkan selalu menceritakan semua yang telah dilakukan bersama LSI Denny JA. Lalu jika sekarang dia menang, tentu dengan segala program dan proses pemenangan yang dia susun itu dan jagoan kita ternyata kalah, lalu kenapa harus marah?

Bukankah secara terang-benderang Denny JA rutin memberikan informasi terkait hal tersebut?

Bukankah kita sudah tahu sejak awal kampanye bahwa ia tengah mengusung pasangan 02?

Jangan sebut tidak tahu atau pura-pura tidak sadar, hanya karena tidak secara langsung ia mengatakan tentang kecenderungannya itu.

Hanya karena tidak bisa menerima dengan lapang bahwa paslon dukungan kita kalah, lalu dengan telak menyebutnya curang, mempermainkan demokrasi, bahkan menyebutnya sebagai orang yang dzalim.

Apa salahnya, jika ia memiliki satu lembaga survei di tangan kanan dan satu konsultan politik di tangan kiri?

Apa yang dinodai, jika ia kemudian mengerjakan bermacam konsep program untuk memenangkan klien menggunakan data-data milik LSI?

Apa salahnya jika dia mampu menggiring opini publik dan membuat perubahan pada angka survei karena berbalik mendukung pasangan nomer 02?

Apa salahnya juga, jika ia memiliki manuver-manuver lain yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh konsultan lainnya, karena ia memang memiliki insting lebih kuat dibanding siapapun di dunia Politik Indonesia? Apa salahnya?

Yang paling membuat heran justru beberapa kawan, yang berada dalam satu lingkaran Denny JA, memiliki sudut pandang dan pilihan lain tentang Pilpres.

Jika reaksi Denny JA sangat demokratis dengan membiarkan siapapun dengan pilihannya, namun kebalikan dengan beberapa kawan itu, mereka justru berbondong-bondong menyerangnya dengan massif. Dengan alasan demokrasi yang rusak, sampah demokrasi, kondisi politik di Indonesia yang hancur, kecurangan yang dilakukan LSI, dan banyak lainnya.

Pertanyaan saya, tidakkah mereka semua menyadari, bahwa mereka tengah berteriak di rumah Denny JA?

Rumah yang disediakan oleh Denny untuk semua teman-temannya, untuk mereka nyaman berkumpul dengan memberi yang dibutuhkan. Meskipun sekali lagi, bagi Denny JA, itu semua adalah warna-warni demokrasi.

Saya bukan siapa-siapa. Saya bukan seorang aktivis yang kritis, tidak juga pernah dididik oleh senior-senior yang profilenya luar biasa, saya juga bukan penulis yang aktif bergerak untuk bangsa.

Saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah ibu dari 5 orang anak, yang langsung bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari di dapur, kamar, kasur, sumur.

Saya paling merasakan sulitnya Ketika cabai mahal, atau beras menghilang dari peredaran. Saya yang paling sedih saat harga telur justru lebih mahal dari harga ayam. Saya, si perempuan biasa tanpa prestasi apapun ini.

Bersama banyak ibu-ibu lainnya yang bukan siapa-siapa itulah justru jengah melihat aksi pemaksaan kehendak di tengah gaung demokrasi yang setiap 5 tahun ini mendadak muncul dan berbuah subur.

“Beras mau naik ya? Gara-gara Prabowo yang menang quick count?”

“Ah Pemilu kan emang punya efek. Siapapun yang menang, ya beras bakalan tetep naik. Sama aja.”

Ini negara demokrasi, saya bahkan melihat Denny JA membiarkan mereka yang terus menuduhnya curang untuk tetap bersuara.

“Itu bagian dari civil education,” ujarnya.

Memang benar, bahwa ia menggunakan program untuk mengubah angka pada survey nasional, tapi jangan buta dan tuli, mengubah itu artinya menjadikan angka yang diubah lebih naik dan dilakukan di sebuah lembaga khusus yang tercatat dengan kredibilitas terbukti.

Diubah bukan dalam keadaan yang tidak sesuai lapangan, semua data akurat. Semuanya tepat.

Saya jadi kemudian berpikir, dalam pertarungan Pilpres ini, setelah dengan telak 5 kali berturut-turut memenangkan Pilpres , rasanya bukan paslon siapa melawan paslon mana.

Bukan king maker partai apa melawan queen maker partai mana, tapi siapa yang melawan Denny JA.

Siapa yang menjadikan Denny JA lawannya? Sebab pertarungan yang sesungguhnya justru dilakukan olehnya.

Saya dan beberapa ibu lainnya, ibu biasa saja yang menikmati Pilpres dari depan kompor, yang menonton debat calon presiden sambil menyuapi anak, yang merasa bahwa sebuah demokrasi seharusnya dilakukan oleh mereka yang kalah.

Karena jika sudah menang, secara otomatis ia akan melaksanakan demokrasi itu sendiri. Tapi menerima kekalahan dengan legowo, lapang dada, itulah wujud demokrasi.

Jika masih menganggap pihak pemenang curang, artinya ia masih belum bisa menjalankan realitas demokrasi.

Pendengung mengatakan demokrasi sedang tidak baik-baik saja, senyatanya memang benar, demokrasi tidak baik karena mereka yang kalah tengah menutupi rasa kecewanya dengan sibuk menuduh kecurangan pihak pemenang.

Ada satu momentum yang membekas sekali di hati saya. Membuat saya akan terus mengingat Denny JA sebagai sosok yang tak lekang oleh waktu. Suatu hari persis ketika saya baru landing dari pesawat, setelah mengantar amanah dari Denny JA ke panti asuhan di Aceh, saya mendapat serangan virtual di akun media sosial pribadi.

Di situ, saya diserang dari segala sisi. Bahkan orang yang dekat dengan saya ikut menyerang. Semua itu tak lain karena saya dikatakan menjadi perpanjangan tangan dari manipulasi Denny JA di dunia sastra.

Tapi bukan itu poinnya, selain Denny JA ikut membantu membalas komentar-komentar pedas itu di akun medsos saya, dia langsung meminta saya ke kantornya. Di dalam ruangannya, dengan perlahan dia menyuguhkan teh hangat, memberi snack donat, sambil perlahan menenangkan saya yang masih emosional.

“Rahmi, bahkan Nabi Muhammad pun dibenci di rumahnya sendiri. Di caci maki, hingga diludahi. Apalagi kita yang hanya manusia biasa. Kita jelas tidak lebih baik dari Rasulullah. Jadi Rahmi hanya perlu bersabar lagi.”

Dari situ saya tahu, di dunia politik, khususnya Pilpres, Denny JA adalah lawan sesungguhnya. Petarung yang sebenarnya. ***

Berita Terkait