Agung Wibawanto: Masihkah Ada dan Diakui Masyarakat Indonesia Norma Dalam Etika?
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 08 November 2023 07:15 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Saat kita menggunakan fasilitas publik, misal kendaraan umum, bolehkah kita berlaku seenaknya, meski kita sudah mengeluarkan sesuatu (uang)? Misal, berteriak-teriak, makan dan membuang sampah sembarangan dan sebagainya.
Itu sesuatu yang kita membayar untuk keuntungan kita (mengantar sampai tujuan, misalnya). Bahkan yang tidak berbayar seperti tempat ibadah, ruang publik, dan lain-lain. Tetap saja yang terkait publik, kita harus mengikuti aturan yang disepakati publik.
Apalagi di tempat di mana kita bekerja. Kita juga mendapat keuntungan dengan digaji tapi ada tanggung jawab.
Baca Juga: BLUNDER MCU, Avengers: Endgame Singkirkan Iron Man dan Captain America
Kadang disuruh ini itu, kadang pula ditugaskan ke sana sini, entah disebut petugas kantor A, delegasi, perwakilan, atau apapun, tetap misinya menjalankan tugas kantor.
Di sana (kantor) ada seperangkat peraturan plus etika kerja. Mau berbuat sesuka hati? Kantor mana yang tidak akan memecat atau meminta orang itu mengundurkan diri?
Seharusnya, kita bekerja sebaik mungkin sebagaimana tujuan kantor itu tercapai. Tidak hanya bekerja dengan baik, tapi kita dituntut patuh, loyal bahkan wajib menjaga nama baik kantor. Jika perlu membangga-banggakan kantor di mana kita bekerja.
Bagaimana jika kita out begitu saja dari kantor satu lalu berpindah kantor lain padahal itu rival/kompetitor? Bukankah itu hak setiap orang mau berpindah kerja kemana saja? Kebebasan itu hak, tapi tidak melanggar etika.
Sewajarnya jika berpindah kerja itu berpamitan sekaligus mengajukan pengunduran diri. Jika tidak begitu, jelas konsekuensinya dipecat dengan tidak hormat karena dianggap tidak memiliki atitude. Tidak mungkin juga kita bekerja di dua tempat padahal rival.
Misal jurnalis bekerja di dua media sekaligus Kompas dan Detik. Kalau tidak ketahuan silakan saja tapi itu menunjukkan tidak profesional dan melanggar etika. Jika perusahaan tahu, sudah pasti akan dipecat.
Di dunia industri media kerap pula terjadi seorang jurnalis yang sudah "dibesarkan" oleh sebuah media, kemudian berpindah ke media rival dengan segala latar belakang masalahnya.
Bisa karena bermasalah di media lamanya, atau juga "dibajak" media lain dengan iming-iming gaji besar dan posisi bergengsi. Ini menjadi hal yang lumrah terjadi dan bisa terjadi di dunia kerja apapun. Satu hal, tetap menjaga etika kerja maupun etika umum.
Baca Juga: PBNU Tentang Konflik Palestina: Bantuan Kemanusiaan Lebih Berguna Daripada Boikot
Etika kerja maksudnya yang berkait dengan aturan di kantor tersebut, dan etika umum adalah kesantunan yang sudah dipahami umum. Jika meninggalkan baik-baik, tentu lebih terhormat dan tidak dicap kacang melupakan kulitnya.
Setiap kita ingin masuk dan bergabung kepada suatu institusi, tentunya kita sudah harus paham dulu apa dan bagaimana institusi tersebut dan apa tujuan kita bergabung? Alasan ini menjadi penting karena banyaknya bajing loncat.
Bajing adalah hewan yang suka meloncat dari satu pohon ke pohon lain. Ia hanya gunakan pohon untuk pijakan meloncat (batu loncatan) dalam waktu cepat.
Banyak orang bergabung ke suatu institusi hanya memanfaatkan saja untuk sekadar mendapat semacam porto folio. Menjadikan institusi sebagai kendaraan yang akan mengantarkan sampai tujuan lalu pergi begitu saja. Ini salah. Jikapun ingin dijadikan kendaraan tapi bukan kendaraan umum melainkan kendaraan bersama yang harus dirawat dijaga.
Baca Juga: Pendapat Berbeda Anggota MKMK Bintan R Saragih, Minta Anwar Usman Dipecat dengan Tidak Hormat
Keliru juga jika institusi dianggap bak terminal yang setiap orang bisa datang dan pergi. Anggaplah sebagai rumah bersama sehingga ada rasa memiliki. Pernah ikut acara out bond atau gathering?
Di sana ditanamkan rasa kompak dan kebersamaan, loyalitas, serta bangga berada dalam keluarga tersebut. Ada lagi contoh yang lebih luas atau besar terkait bangsa. Timnas kita kini banyak diisi pemain naturalisasi (warga keturunan). Apa tujuan mereka mau bergabung?
Sekadar ingin bermain tingkat nasional dan bertanding dengan tim negara lain di ajang dunia, atau memang cinta Indonesia? Bagaimana jika seorang pemain naturalisasi yang sudah dibesarkan timnas indonesia tiba-tiba menyeberang ke timnas Malaysia, misalnya?
Meski itu hak pemain tapi sangat tidak etis dengan cara semaunya seperti itu. Bagi negara lain, menjadi Dwi negara mungkin bisa. Tapi tidak bagi Indonesia. Seseorang harus memilih WNI atau WNA?
Misal Elkan Baggot yang kini sudah terkenal sejak mengenakan seragam merah timnas indonesia. Belum dua tahun mengabdi, Elkan memilih pindah berkaos kuning timnas Malaysia.
Cara yang dilakukan juga hanya memberitahu rencana pindahnya kepada asisten pelatih, tanpa mengurus statusnya yang masih Indonesia. Alih-alih mendukung dan memenangkan timnas Garuda, malah bergabung dengan timnas rival, Malaysia. Bagaimana perasaan fans timnas kita?
Mau menyalahkan Elkan Baggot atau federasi sepakbola Malaysia? Atau jangan-jangan justru menyalahkan timnas yang dianggap sudah bikin masalah hingga Elkan pergi? Timnas mau tegas memecat Elkan akan dianggap salah.
Diam pun salah karena tidak memberi sanksi. Terlebih timnas baper mengatakan Elkan meninggalkan timnas setelah namanya besar, akan lebih disalahkan. Malang betul timnas atau institusi-institusi disalahkan.
Disalahkan publik yang membela orang yang justru telah berbuat yang tidak etis. Belum lama mengaku setia dan tegak lurus serta patuh instruksi, tapi kemudian berpaling menghianati dengan mendukung pihak lawan.
Apa hal seperti ini sudah dianggap bukan sesuatu yang buruk (negatif) lagi oleh orang-orang? Saya yakin, nilai-nilai kebaikan dan keburukan masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia. Publik tahu mana yang baik dan buruk.
Yang tidak tahu itu biasanya pendukung. Meski keliru, namun karena menjadi pendukung, maka apapun akan dibela dan tetap dibenarkan untuk dukungannya. Makanya benar kata bijak: jangan menasehati orang jatuh cinta, suporter bola dan pendukung capres-cawapres.
Apapun yang dikatakan tidak akan pernah didengar. Malah menyerang balik menganggap sebagai pembenci, baper, nyinyir dsb. Waktu lah yang akan menjawabnya.
(Oleh: Agung Wibawanto) ***