Joseph E Stiglitz: Dilema Memilih dan Harga Coblosan Dalam Pemilu
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 07 September 2023 18:30 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Tahukah Anda bahwa, semakin Anda benci politik, maka "cost to voting" semakin meningkat. Artinya, semakin Anda benci politik, maka sesungguhnya Anda sedang berandil membuat harga coblosan semakin mahal. Kok bisa?
Joseph E Stiglitz menyebutnya sebagai "the voting paradox and voter disillusionment"(paradoks mencoblos dan kekecewaan pemilih).
Begini penjelasannya, pada mulanya semua orang enggan untuk memilih, toh yang akan dipilih adalah orang-orang yang punya kepentingan.
Adalah kearifan bernegara (civic virtue), yang berasumsi bahwa, jika kita tidak mencoblos, maka pemilu akan dimenangkan mereka yang mungkin bisa merugikan kita.
Padahal kita dan mereka ada dalam satu sistem politik yang sama, maka jadilah setiap orang "terpaksa" menggunakan hak pilihnya.
Mengapa harga coblosan naik? Mereka, atau rakyat, yang merasa dibohongi atau ditinggalkan politisi yang mereka pilih pada pemilu periode sebelumnya, menjadi sangat marah dan benci politik.
Dan tentu saja, akibatnya mereka enggan pergi ke TPS. Orang yang marah dan kecewa tentu perlu dibujuk dan dirayu untuk bersedia menggunakan hak pilihnya kembali. Bujuk dan rayu paling efektif, tentu saja bernama fulus. Semakin sering dikecewakan, semakin mahal harga suara rakyat.
Siapa yang punya uang? Tentu saja orang-orang kaya di antara rakyat pemilih dalam sebuah pemilu.