DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Joseph E Stiglitz: Dilema Memilih dan Harga Coblosan Dalam Pemilu

image
Pemilih mencoblos pada sebuah TPS, ada analisis dari Joseph E Stiglitz

ORBITINDONESIA.COM - Tahukah Anda bahwa, semakin Anda benci politik, maka "cost to voting" semakin meningkat. Artinya, semakin Anda benci politik, maka sesungguhnya Anda sedang berandil membuat harga coblosan semakin mahal. Kok bisa?

Joseph E Stiglitz menyebutnya sebagai "the voting paradox and voter disillusionment"(paradoks mencoblos dan kekecewaan pemilih).

Begini penjelasannya, pada mulanya semua orang enggan untuk memilih, toh yang akan dipilih adalah orang-orang yang punya kepentingan.

Baca Juga: Link Baca Legal Manga Jujutsu Kaisen Chapter 235,Intip JAdwal Rilis Akhir Pertarungan Satoru Gojo dan Sukuna

Adalah kearifan bernegara (civic virtue), yang berasumsi bahwa, jika kita tidak mencoblos, maka pemilu akan dimenangkan mereka yang mungkin bisa merugikan kita.

Padahal kita dan mereka ada dalam satu sistem politik yang sama, maka jadilah setiap orang "terpaksa" menggunakan hak pilihnya.

Mengapa harga coblosan naik? Mereka, atau rakyat, yang merasa dibohongi atau ditinggalkan politisi yang mereka pilih pada pemilu periode sebelumnya, menjadi sangat marah dan benci politik.

Dan tentu saja, akibatnya mereka enggan pergi ke TPS. Orang yang marah dan kecewa tentu perlu dibujuk dan dirayu untuk bersedia menggunakan hak pilihnya kembali. Bujuk dan rayu paling efektif, tentu saja bernama fulus. Semakin sering dikecewakan, semakin mahal harga suara rakyat.

Baca Juga: Sleep Call Tayang Hari Ini! Laura Basuki dan Bio One Beri Pesan Mendalam tentang Kesepian yang Dialami Gen Z

Siapa yang punya uang? Tentu saja orang-orang kaya di antara rakyat pemilih dalam sebuah pemilu.

Halaman:

Berita Terkait