DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Bedah Buku Satupena Sumbar: Tragedi Kanso, Trauma Etnisitas Cina di Pariaman 1945

image
Ilustrasi suasana kota Padang Pariaman. Ada tragedi Kanso terkait etnis Cina.

Dikatakan Free, setelah membaca buku ini, bertemu benang merahnya. Orang Cina itu rajin, gigih, kerja keras, cari keuntungan, tapi bukan sepihak saja. Di Medan Cina mendekati penjajah untuk lebih eksisnya.

Orang Cina yang tak peduli dengan kemerdekaan RI, tapi hanya mencari keuntungan saja. Sehingga berkhianat terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Tapi ada juga Cina yang ikut membela kemerdekaan Indonesia,” kata Free.

“Walaupun Cina lari dari Pariaman, tapi tak ada hartanya (barang) yang hilang. Semua asetnya tidak diganggu orang Pariaman ketika terjadi peristiwa Kanso. Berbeda dengan daerah lain, kerusuhan terhadap Cina, asetnya dirampas begitu saja,” kata Free.

“Peralihan aset Cina yang ditinggalkan setelah eksodus dari Pariaman tetap saja dibeli kepada pemiliknya yang berada di luar Pariaman. Setelah mengetahui siapa pemilik aset (bangunan) tersebut, dilakukan negosiasi. Artinya tidak pernah dirampas begitu saja,” tambah Armaidi Tanjung, penulis buku Tragedi Kanso.

Baca Juga: Audit Keuangan PSSI, Erick Thohir Disambut Positif Publik, Bikin Sepak Bola Indonesia Lebih Transparan

Ketua DPD SatuPena Sumbar Sastri Bakry mengatakan, bedah buku ini merupakan pelaksanaan salah satu program kerja SatuPena Sumbar. Sebelum ini, diselenggarakan pelatihan menulis, peluncuran buku di Malaysia, dan bedah buku serta wisata literasi ke dalam maupun ke luar negeri.

“Bedah buku Tragedi Kanso yang ditulis Sekretaris DPD SatuPena Sumbar Armaidi Tanjung patut diapresiasi. Sebelum ini belum ada buku yang ditulis terkait peristiwa kanso yang terjadi tahun 1945 di Pariaman,” kata Sastri yang juga orang Pariaman ini.

Dikatakan Sastri, bedah buku ini memberi manfaat bagi kita dan orang luar. Kita semakin tahu bagaimana kronologis terjadinya peristiwa Kanso tersebut.

Dosen Universitas Andalas, Hasanuddin menyebutkan, Pariaman sejak abad ke-16 telah menjadi pelabuhan/bandar lalu lintas yang ramai dan damai. Kota pantai itu tumbuh menjadi kota heterogen, plural bahkan multikultural. Nama-nama kampung yang ada menunjukkan realitas faktual demikian.

Baca Juga: Rekomendasi 6 Cafe di Pasuruan dengan Pemandangan Alam Sawah dan Gunung yang Mempesona

Sebutlah Kampung Cino (kampung komunitas Cina atau Tionghoa), Kampung Nieh (Kampung komunitas etnik Nias), Kampung Jawo (kampung komunitas etnik Jawa), Kampung Kaliang (kampung komunitas etnik India), kampung komunitas lainnya seperti Arab dan Eropa, kata Hasanuddin.

Halaman:
1
2
3

Berita Terkait