Rachmad Bahari: Kapal Adalah Kuda
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 21 Juli 2023 09:35 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Kapal kini mengalami penyempitan makna, hanya tertuju pada kendaraan laut berukuran besar di atas perahu, lancang, jukung dan sejenisnya. Dulu pesawat udara atau pesawat terbang juga disebut kapal terbang.
Sebelum ditaklukkan oleh VOC dan kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Belanda, kerajaan-kerajaan maritim di Jawa memiliki armada laut atau kapal untuk berperang dan berniaga dengan kapal-kapal besar yang disebut jung.
Ukuran jung konon tiga kali lipat dari kapal penjelajah Spanyol, Portugis, Belanda, dam juga Inggris.
Baca Juga: Dr KH Amidhan Shaberah: Hijrah dan HAM
Perebutan kekuasaan antaranggota keluarga dan campur tangan pihak asing -baik diundang maupun kehendak sendiri - telah menjadikan para penguasa tradisional Jawa bergeser dari penguasa kerajaan maritim di pesisir menuju kerajaan agraris di pedalaman.
Setelah kesultanan Pajang kehilangan kekuasaan, kemudian lahir dinasti baru yang didirikan Panembahan Senapati, penguasa Mataram Islam yang agraris.
Kekalahan dan perpecahan telah menjadikan Mataram menjadi terkunci karena pesisir utara tempat berhubungan dengan dunia luar telah dikuasai VOC. Karenanya, untuk memperkuat legitimasi kekuasaan, Panembahan Senapati berbalik arah orientasi ke pantai selatan, bibir Samudera India yang ganas dan tidak mudah dilayari oleh jung besar.
Untuk itu Senapati memunculkan mitos baru penguasa laut selatan yakni Kangjeng Ratu Kidul, yang menjadi kekasih spiritual dan pelindung dirinya beserta para penguasa sesudahnya.
Baca Juga: Profil Lengkap Cinta Mega, Anggota DPRD DKI Jakarta yang Diduga Main Game Ternyata dari Fraksi PDIP
Setelah berubah menjadi kerajaan agraris, kemampuan untuk membangun kapal berukuran besar lambat laun menghilang
Di antara penerus dinasti Mataram tercatat hanya Keraton Surakarta yang memiliki perahu yang berfungsi sebagai semacam korvet, yang berlayar menuju pesisir melalui Bengawan Sore, yang kemudian dikenal sebagai Bengawan Solo.
Keraton Ngayogyakarta meskipun memiliki garis pantai yang lebih panjang di pesisir selatan, nyaris terkunci. Untuk berhubungan dengan dunia luar harus melalui Bengawan Solo dan harus mengeluarkan biaya ekstra karena harus membayar tol kepada Keraton Surakarta.
Perahu korvet Keraton Surakarta digerakkan oleh tenaga manusia dengan mendayung. Di bagian haluan dan buritan dihiasi patung kepala raksasa. Hiasan di haluan dan buritan disebut cantik. Perahu korvet Keraton Surakarta dihiasi cantik kepala Rajamala.
Rajamala yang berarti rajanya penyakit atau raja kuman, tercipta ketika Begawan Palasara menjalani ritual dalam rangka mengobati Dewi Durgandini, putri Prabu Basukesti dari Wirata yang mengasingkan diri di perahu di tengah sungai Yamuna karena berbau amis dan bersisik.
Pengobatan berhasil dilakukan, bau amis hilang dan sisik dibuang ke sungai berubah menjadi raksasa sakti Rupakenca dan Kencakarupa, dan penyakit berubah menjadi Rajamala.
Kisah asmara di perahu menghasilkan anak yang bernama Byasa atau Vyasa, sang penulis Mahabharata. Kisah asmara antara Durgandini Palasara, dan Santanumurti akan saya bahas tersendiri pada kesempatan lain, karena menjadi muasal perang Bharatayudha.
Rupakenca dan Kencakarupa kemudian diangkat menjadi patih Wirata dan Rajanala menjadi senapati.
Ketika saudara lelaki Durgandini, Durgandana, naik tahta sebagai raja Wirata bergelar Prabu Matswapati, ada upaya kudeta Rupakenca dan Kencakarupa, dan dibantu Rajamala dalam lakon Wirataparwa dengan segala intriknya, dan lebih menarik untuk dibahas terpisah.
Yang menjadi tanda tanya besar bagi saya adalah apa yang melatarbelakangi Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka menjadikan cantrik Rajamala sebagai ikon ASEAN Paragames, sekaligus ikon pariwisata Kota Surakarta?
Kembali ke kapal, sampai akhir 60an, diksi pesawat terbang dan kini hanya menjadi pesawat saja untuk menyebut aircraft atau airplane belum banyak digunakan. Dulu lazim disebut kapal terbang.
Kalau orang Jawa malah membahasakannya sebagai montor mabur atau mobil terbang.
Di kawasan kota Bekasi sebelah timur, ada daerah yang disebut Bulakapal.
Bulak dalam bahasa Jawa berarti lapangan dan kapal yang dimaksud adalah kapal terbang.
Lapangan terbang Bulakapal menjadi basis pesawat tempur militer Jepang, selain lapangan terbang Tjililitan yang kemudian berganti nama menjadi Halim Perdanakusuma.
Penggunaan diksi pesawat terbang mulai sering digunakan pada dasawarsa 70an dan sebutan kapal terbang mulai jarang digunakan. Ketika mulai belajar ilmu alam di kelas 5 SD dulu, yang disebut pesawat adalah seperangkat alat yang digunakan untuk membantu memudahkan orang untuk bekerja atau berkomunikasi.
Pesawat bekerja secara mekanik dan (atau) elektrik. Oleh karenanya ada pesawat radio, pesawat telepon, dan juga pesawat terbang.
Ketika SMA ada mata pelajaran mekanika, karena buku yang dipakai edisi lama dan karangan penulis Belanda, sehingga tajuknya masih Ilmu Pesawat.
Jangan salah, kapal dalam bahasa Jawa halus berarti kuda, selain tentu juga turangga, kata arkaik yang berasal dari bahasa Kawi atau Jawa Kuno.
Sebutan kapal untuk kuda, tidak terlepas dari pembentukan gugus tempur Legiun Mangkunagaran yang memiliki satuan artileri dan kavaleri selain infanteri.
Legiun Mangkunagaran yang dibentuk Napoleon Bonaparte melalui Gubernur Jenderal Herman Wilem Daendels bekerjasama dengan Mangkunagara II merupakan replikasi Grande Armee Prancis dalam bentuk mini.
Peralatan perang modern pada zamannya mulai digunakan seperti meriam tarik pada satuan artileri yang disebut constabel.
Baca Juga: Ini Dia 17 Quotes Keren Dari Film Barbie yang Bisa Menginspirasi Kamu untuk Jadi Lebih Baik
Ada juga pasukan berkuda yang disebut kavaleri. Kavaleri konon berasal dari kata chevalier dalam bahasa Prancis yang berarti kuda. Sejak itu kapal masuk dalam kosakata Jawa yang berarti kuda.
Ketika tidak sedang digunakan untuk bereperang, kuda-kuda milik Mangkunagaran tersebut dimanfaatkan untuk kuda pacu dan kuda tunggang (equstrian). Equstrian dilakukan di lapangan Pamedan sisi timur dan pacuan kuda di daerah sisi Kali Pepe yang kemudian bertoponimi Balapan
Di sisi selatan Balapan ditempatkan istal kuda yang kemudian menjadi kampung Kestalan. Ada juga kampung yang dulu menjadi tempat tinggal opsir Legiun Mangkunagaran berkebangsaan Belanda berpangkat overste, yang biasa dipanggil obruz dan kini menjadi lampung Ngebrusan.
Ada juga kampung Jageran, konon dulu asrama pasulan jager atau raiders. Kampung Stabelan dulu tempat prajurit constabel atau penarik meriam.
Ketika perusahaan kereta api NIS membangun jejaringan rel dari Semarang ke Vorstenlanden (wilayah para raja di pedalan), lapangan pacuan kuda digunakan untuk stasiun dengan nama tetap Solo Balapan dan arena pacuan kuda dipindah ke Manahan.
Kini Kota Surakarta tidak memiliki arena pacuan kuda setelah dikonversi menjadi Stadion Manahan.
Semenjak stasiun Solo Balapan beroperasi, banyak berdiri usaha penginapan di kampung Kestalan, karena pada awal operasinya kereta api belum diizinkan berjalan di malam hari.
Untuk memeruskan perjalanan lanjutan esok hari, para penumpang perlu menginap. Hal yang sama juga terjadi di sekitar stasiun Tugu Yogyakarta.
Kampung Kestalan di Solo dan Pasar Kembang Yogyakarta adalah kawasan red light lama, karena lokasinya tidak jauh dari stasiun kereta api. Karena di Kestalan ada stasiun RRI, maka kawasan red light itu lebih populer sebagai RRI.
Di Alun'alun Utara Keraton Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta terdapat bangsal terbuka yang disebut Pekapalan. Di Alun-alun ada kapal? Betul, karena kapal berarti kuda.
Pekapalan dahulu adalah tempat kuda mililk keratpn dan atau tamu ditambatkan Pekapalan adalah tempat parkir kuda. Kapal, turangga, jaran adalah senarai kata yang berarti sama, kuda.
Oleh: Rachmad Bahari
Soloensis ***