RENUNGAN: Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat Sesuai Teladan Rasulullah SAW
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 15 Juni 2023 21:50 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Antara satu manusia dan manusia lainnya terkadang punya pemikiran yang berbeda-beda, termasuk dalam memahami agama. Maka muncul perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh banyak faktor, bisa jadi karena pendidikan, tempat tinggal, perbedaan sumber bacaan, dan lain-lain.
Perbedaan pendapat dan pemahaman dalam agama pun merupakan sesuatu yang sangat biasa di dalam Islam dan tidak perlu dipusingkan, apalagi dijadikan permasalahan.
Baca Juga: Steffina Yuli, Perempuan Indonesia yang Masuk Dalam Daftar Under 30 Forbes Asia
Rasulullah SAW semasa hidupnya tidak mengingkari adanya perbedaan para sahabat dalam memahami apa yang dikatakannya. Malahan, Rasulullah kerapkali membenarkan dua pendapat yang berbeda- beda, selama tidak bertentangan dengan syariat.
Dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah pernah mengutus beberapa orang sahabat berkunjung ke perkampungan Bani Quraizhah.
Sebelum berangkat, Rasul berpesan: “Kalian jangan sholat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”
Tidak ada satupun sahabat yang bertanya mengenai maksud dari pernyataan Rasulullah ini. Semuanya tampak sudah memahami apa yang dikehendaki Rasulullah.
Baca Juga: FIFA Matchday: Timnas Indonesia Melawan Palestina Berakhir Tanpa Gol
Di pertengahan jalan, waktu ashar sudah masuk. Salah seorang sahabat mengusulkan agar sholat terlebih dahulu. Khawatir kalau perjalanan dilanjutkan waktu sholat habis. Sementara sahabat yang lain menolak usulan itu.
Alasannya, Rasul memerintahkan sholat di perkampungan Bani Quraizhah. Meskipun waktu sholat ashar habis.
Kedua belah pihak dari rombongan sahabat ini bersiteguh dengan keyakinannya masing-masing dan tidak ada yang mengalah. Sahabat yang ingin mengerjakan sholat ashar di jalan memahami pesan Nabi, sementara sahabat yang lain memahaminya.
Dua sudut pandang ini tentu melahirkan dampak dan implikasi yang berbeda.
Baca Juga: Tips dan Cara Menghindari Dampak Kualitas Udara Buruk di Rumah agar Keluarga Tetap Sehat
Kalau perintah Nabi di atas dipahami secara kontekstual, maksudnya adalah Nabi memerintahkan agar sahabat yang diutus segera sampai di tempat yang dituju sebelum waktu sholat asar selesai.
Artinya, kalau pun tidak sesuai harapan, ketika waktu sholat sudah masuk di tengah perjalanan, tetap diwajibkan sholat saat itu.
Namun sahabat yang memahami secara literal berpandangan bahwa Nabi memerintahkan sholat asar di perkampungan Bani Quraizhah dan tidak boleh dilakukan di tengah perjalanan, sekalipun waktu sholat sudah masuk.
Dikarenakan tidak ada titik temu, kedua belah pihak akhirnya mengadu kepada Rasul. Setelah mendengar penjelasan mereka, Rasul membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan salah satunya.
Baca Juga: AWAS BUSUK! Tips dan Cara untuk menyimpan Daging Kurban Idul Adha di Rumah agar Tetap Awet
Kalau di masa Nabi saja perbedaan pemahaman terhadap apa yang dikatakan Rasulullah sudah terjadi, apalagi setelah Rasulullah wafat.
Pada masa sahabat misalnya, perbedaan pendapat di kalangan sahabat juga sering terjadi.
Misalnya, dalam hadits riwayat Muslim disebutkan, Abdullah bin Umar menyatakan bahwa Rasulullah berkata: "Mayat akan diadzab dalam kubur lantaran tangisan keluarganya”.
Pernyataan ini kemudian dikritik oleh ‘Aisyah, istri Rasulullah, karena apa yang disampaikan Abdullah bin Umar ini sekilas bertentangan dengan Al Quran. Dalam surat al-An’am ayat 164, Allah SWT berfirman: “Seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain.”
Baca Juga: PARTAI NASDEM: Politik Dagang Sapi di Indramayu, Sapinya Pun Cuma Ilusi
Menurut ‘Aisyah, hadits tentang mayat diadzab karena tangisan keluarganya itu memiliki konteks dan latar belakang.
Hadits itu disampaikan ketika Rasulullah melihat jenazah orang Yahudi yang sedang ditangisi keluarganya. Rasulullah bersabda: “Mereka menangisinya, sementara dia diadzab di dalam kuburnya.” (HR Bukhari).
Mayat tersebut diadzab bukan karena tangisan keluarganya, melainkan karena kekafirannya.
Kedua sahabat ini sama-sama mendengar dari Rasulullah. Hanya saja, Abdullah bin Umar tidak menyebutkan konteks haditsnya. Sementara ‘Aisyah lebih mengetahui konteksnya.
Baca Juga: Akan Diadakan Bedah Buku Kembara Penyair Ikhtisas, Jumat 16 Juni 2023
Meskipun sama-sama berasal dari Rasulullah, pemahaman akan berbeda bila sebuah hadits dipahami secara utuh dengan pemahaman yang tidak memahami secara utuh dan tidak melihat konteksnya.
Masalahnya, tidak semua hadits di dalam kitab hadits yang sampai pada kita menyebutkan konteksnya. Sehingga, memahami hadits perlu merujuk pada penjelasan ulama yang otoritatif, supaya tidak tergelincir pada salah pemahaman.
Masa Nabi terjadi perbedaan, di masa sahabat juga demikian, apalagi di masa kita.
Saat ini ada banyak pandangan dan pemikiran di sekitar kita. Ada banyak mazhab dan aliran. Terkadang kita bingung untuk memilih pada yang harus diikuti.
Prinsipnya, kita harus mengakui bahwa ada keragaman pendapat di dalam Islam.
Kita tidak perlu memusingkan ataupun menolak keragaman pendapat itu.
Abdul Wahhab al-Sya’rani mengatakan: “Syariat itu seperti pohon besar yang bercabang- cabang. Perkataan ulama seperti cabang dan rantingnya. Tidak ada cabang tanpa akar/asal. Tidak ada buah tanpa bersandar pada ranting. Sebagaimana halnya tidak ada bangunan tanpa dinding..”
Maksudnya, setiap pendapat ulama pasti mengacu pada dalil di dalam syariat.
Tidak mungkin seorang ulama menyampaikan pendapat tanpa merujuk pada dalil Al Quran dan hadits.
Maka, ketika melihat perbedaan pendapat, yang perlu diperhatikan adalah alasannya. Karena tidak mungkin ulama yang menyampaikan pendapat asal omong dan tidak punya alasan.
Al-Sya’rani menambahkan: “Tidak dinamakan Ahmad sebagai orang alim kecuali dia menelusuri perbedaan pendapat ulama dan mengerti dari mana sumbernya, baik dari Al Quran maupun hadits, dan tidak menolaknya dengan cara bodoh ataupun menentang.”
Baca Juga: Erick Thohir Cawapres Ganjar atau Prabowo? Zulkifli Hasan: Tunggu Tanggal Mainnya!
Orang yang alim itu justru adalah orang yang mengerti perbedaan pendapat ulama beserta alasan mereka berbeda. Sementara orang yang bodoh adalah orang yang menolak dan menentang perbedaan pendapat yang memiliki rujukan terhadap Al Quran dan hadits.
Perbedaan pendapat di dalam Islam ditoleransi selama tidak bertentangan dengan Al Quran dan hadits.
Dalam kaidah fiqih disebutkan: "Tidak boleh mengingkari perkara yang masih diperdebatkan, tetapi yang harus diingkari adalah perkara yang sudah disepakati.”
Karenanya, sebagai muslim, kita harus bijak dalam melihat perbedaan, termasuk perbedaan pendapat dalam memahami agama.
Jangan suka menyalahkan orang yang berbeda pendapat dengan apa yang kita pahami.
Tanya dulu alasan dan argumentasinya. Karena bisa jadi pendapat yang berbeda itu juga punya rujukannya di dalam Islam.***