DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Delapan Doktrin Ideologi Radikal yang Perlu Diwaspadai

image
Ilustrasi doktrin ideologi radikal yang berbahaya. Aksi penggal kepala terhadap warga nonmuslim oleh ISIS.

Karenanya dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah, orang yang berbeda penafsiran tidak otomatis dapat dituduh telah melawan Al-Qur’an dan menentang Nabi Muhammad SAW.

Sebagai contoh, doktrin al-hakimiyyah lillah, bahwa kedaulatan secara mutlak hanya milik Allah. Yang mendoktrinkan bahwa yang berhak menciptakan hukum untuk pedoman hidup manusia dan wajib ditaati hanya Allah, dan memutus secara total dari segala hukum, sistem, tata nilai dan undang-undang produk manusia.

Baca Juga: Sinopsis Film After Earth: Petualangan Liar Will SMith dengan Anaknya Jaden Smith di Dunia Pasca Kehancuran

Dalam konteks ini Sayyid Quthub (1906-1966) tokoh penting Ikhwanul Muslimin Mesir yang berhasil merumuskan doktrin ideologi radikal secara rapi dan menjadi rujukan berbagai gerakan radikal global, mendasarkan doktrin al-hakimiyyah pada penggalan ayat:

"Orang yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan, maka mereka adalah orang-orang kafir." (Surat Al-Maidah ayat 44).

Oleh Sayyid Quthub, ayat ini kemudian ditafsirkan sebagai ketegasan Allah bahwa siapa saja orangnya di mana dan kapan saja dia hidup, yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan justru berhukum dengan hukum lainnya, maka ia telah membuang status Allah sebagai Tuhan di satu sisi dan menuhankan dirinya sendiri di sisi lain.

Tidaklah orang itu menjadi kafir jika ia tidak berlaku seperti itu.

Baca Juga: Inilah Alasan Lionel Messi dijuluki La Pulga dan Prestasinya selama bermain bersama Paris Saint Germain

"Orang yang berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan, maka berarti ia membuang sifat ketuhanan Allah dan berbagai kekhususannya di satu sisi, dan mendakwakan hak ketuhanan dan kekhususannya bagi dirinya sendiri di sisi lainnya. Tidaklah ditemukan kekufuran pada dirinya bila ia tidak berlaku seperti itu." (Sayyid Quthub, Fi Zhilalil Qur'an)

Setelah menafsirkan secara tekstual, Sayyid Quthub kemudian mengunci penafsirannya dengan menafikan penafsiran dan takwil mufassirin lainnya:

Halaman:
1
2
3

Berita Terkait