Survei Nasional UI: Polarisasi Politik Nyata Terjadi, Ada yang Berdasar Sentimen Asing dan Aseng
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 20 Maret 2023 06:54 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Hasil survei nasional dari Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) mengungkap, polarisasi politik terjadi di dimensi dunia maya maupun dunia nyata.
Menurut Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI Profesor Hamdi Muluk dalam keterangan tertulus hasil survei nasional bertema Polarisasi politik di Indonesia: Mitos atau Fakta? yang dipantau secara daring di Jakarta, Minggu 19 Maret 2023, mengatakan, polarisasi berdasarkan agama, kepuasan kinerja pemerintah, dan sentimen anti luar negeri asing dan Aseng masih kuat terjadi.
“Agama varian penyumbang terbesar polarisasi,” kata Hamdi.
Baca Juga: VIRAL, Kanal Media Sosial Ini Dituduh Pelaku Fitnah Kepada Anies Baswedan, Inilah Daftarnya
Selain agama, tingkat kepuasan kepada kinerja pemerintah juga dapat menjadi penyumbang polarisasi.
Hasil survei juga menunjukkan ada sentimen kuat berbasis anti luar negeri, yang kerap disebut masyarakat anting Asing atau Aseng.
Menanggapi sentimen itu, Menteri Investasi dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menepis isu investasi Indonesia dikuasi oleh asing.
Bahlil selaku penanggap menyebut bahwa investasi Indonesia dari total Rp1.207 triliun di tahun 2022 di luar sektor minyak dan gas, keuangan dan UMKM, itu 54 persen adalah investasi asing.
Baca Juga: VIRAL, Pegiat Media Sosial dan Penulis Ini Dituduh Fitnah Anies Baswedan, Inilah Nama Mereka
Dari 54 persen itu negara paling besar yang masuk adalah Singapura sekitar 13 miliar dolar AS.
Namun, Bahlil menegaskan, bahwa nominal 13 miliar dola AS bukan sepenuhnya uang milik negara Singapura, tetapi juga sebagian berasal dari orang Indonesia di Singapura, karena di negara itu ada pula warga Timur Tengah, Eropa, dan Asia.
“Cuma dikompor-komporin seolah-olah ini China, Korea, Jepang,” kata Bahlil.
Tentang ketenagakerjaan, Bahli menjelaskan, IUP tambang di Indonesia 80 persen milik dalam negeri. Yang dikuasai asing adalah smelter (pablik pelebur).
Penguasaan ini karena Indonesia belum memiliki teknologinya, biaya pendirian smelter yang mahal, pengusaha dalam negeri belum ada kepedulian ke arah tersebut, dan perbankan nasional yang tidak mau membiayai smelter.
“Maka yang terjadi adalah, teknologinya kita bawa dari luar, kemudian uangnya kita bawa dari luar, terus kemudian kita anti asing. Kalau kita tidak mau asing masuk, berarti kita akan menjadi negara yang lambat dalam proses hilirisasinya,” tuturnya.
Bahlil juga mengingatkan, bahwa narasi-narasi negatif soal investasi asing juga dibangun oleh para elit politik yang dulunya juga mantan aktivis. Ia memastikan sebagai mantan aktivis yang kita berada di pemerintahan tidak akan melacurkan idealismenya.
Namun ia berpesan agar para elit politik untuk mencari narasi yang bagus dalam memenangkan kontestasi, agar tidak membuat pengkubuan di masyarakat. Karena di Indonesia, sebenarnya di Indonesia aman pertumbuhan ekonominya bagus, stabilitasnya bagus.
“Tetapi kita ditipu dengan isu-isu polarisasi yang tidak masuk akal, kampret-cebong, kayak tidak ada tema-tema lain yang lebih cerdas, bukan berarti saya tidak mengakui adanya polariasasi, barang itu sudah ada sebelum kita lahir, sejak Adam dan Hawwa ada, cuma harus diperlukan kecerdasan kita dalam mengelola,” kata Bahlil.
Jika polarisasi sudah terjadi, salah satu upaya untuk mengatasinya menurut Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdallah adalah dengan mengimbau kepada pemengaruh (influencer) agar tidak ikut dalam kontenstasi politik tersebut.
Ia menyarankan para influencer puasa menahan diri tidak turun dalam acara dukung mendukung, melainkan justru mendinginkan suasana.
“Saya mengajurkan tokoh-tokoh bisa disebut sebagai influencer itu sebaiknya tidak ikut terlibat dalam poltik dukung mendukung,” kata Ulil.
Berbeda pendapat dengan Ulil, Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari khawatir saran Ulil tidak dijalankan oleh para influencer, karena ada contoh ulama yang mendukung calon.
Qodari memberikan saran paling fundamental yakni mengubah desain konstitusi, yakni pemenang pilpres cukup mayoritas sederhana dengan 40 persen ataupun 35 persen suara dalam satu putaran.
Menurut Qodari, aturan mengenai pemenang pemilu presiden harus 50 persen plus 1 menjadi persoalan terjadinya polarisasi. Dengan aturan tersebut maka calon dipaksa menjadi dua kubu, karena sangat sulit bagi calon manapun untuk menang dalam satu putaran.
Karena pemilihan diikuti multi partai, bila ada tiga calon dengan kekuatan relatif sama, sulit untuk bisa mencapai 50 persen plus satu dalam satu putaran. Yang pada akhirnya dibuat dua putaran. Jika ini terjadi maka akan mengalami pembelahan, dan polarisasi yang terjadi dengan dimensi keagamaan.
“Menurut dari kaca mata ilmu politik saya salah satu penyebab pengutupan yang ekstrim itu adalah desain konstitusi atau desain aturan, dan itu harus diubah, kalau itu konstitusi lewat amandemen UU 1945,” kata Qodari.
Kesimpulan dalam rilis survei nasional tersebut, polarisasi politik fakta terjadi di Indonesia, dan diprediksi kembali terjadi di 2024. Hoaks menjadi salah satu ancaman terjadinya polarisasi, meski demikian, hal yang patut dihindari adalah politik polarisasi, sehingga masyarakat diajak jeli melihat calon dan elit politik yang memainkan politik polarisasi. ***