Tren Baru, Ini yang Memicu Kasus HIV/AIDS di Indonesia Meningkat Drastis
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 01 Desember 2022 16:10 WIB
ORBITINDONESIA -Era teknologi informasi ternyata juga mendorong tren baru bisnis prostitusi online.
Dokter Spesialis Kulit Kelamin Rumah Sakit Krakatau Medika Banten, Santoso Edy Budiono menyebut, prostitusi online ternyata memicu kasus HIV/AIDS di Indonesia meningkat drastis.
Santoso khawatir jika maraknya prostusi online di masa kini dapat memicu meningkatkan potensi infeksi HIV/AIDS pada anak-anak dan remaja Indonesia.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Sudah Umumkan UMP 2023 Jawa Provinsi Tengah Naik Segini, Buruh Minta Lebih Tinggi
“Belum lagi ada pengaruh dari media atau gadget yang terbuka pada sesuatu yang sifatnya pornografi atau pornoaksi,” kata Santoso dalam Temu Media Hari AIDS Sedunia 2022 yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa, 29 November 2022.
Santoso menuturkan berdasarkan suatu survey, sebanyak 80 persen penduduk Indonesia telah menjadi pengguna dari aplikasi bernama MiChat yang seringkali dijadikan ruang untuk melakukan pemasaran prostitusi.
Kemudahan teknologi dan kebebasan untuk mengakses berbagai informasi, dikhawatirkan membuat anak-anak yang tidak memiliki literasi digital yang baik terpapar HIV/AIDS karena mengaksesnya tanpa tahu dampak buruk dari seks bebas.
Baca Juga: SUTAN RISKA TUANKU KERAJAAN: Rendang dari Dharmasraya untuk Cianjur Sudah Disalurkan
“Ini yang menurut saya harus disadari oleh orang tua pentingnya literasi digital pada anak-anak. Supaya mereka bisa mencegah dan tahu akibat dari pergaulan yang kurang baik,” ujarnya.
Menurut dia, pengetahuan orang tua terkait seks bebas dan HIV/AIDS menjadi hal yang sangat penting untuk melindungi semua anak dan pasangannya di rumah. Sebab, diketahui HIV/AIDS sudah marak ditemukan dalam keluarga Indonesia.
Hal itu disebabkan karena adanya perilaku di luar rumah yang tidak baik dan adanya kelompok yang tergolong dalam 4M yang berarti Man, Macho, Mobile with Money.
Dimana kelompok ini identik dengan kaum laki-laki yang memiliki pekerjaan jauh dari keluarga.
Selain itu, adanya seks bebas yang tidak menggunakan pengaman seperti kondom, turut meningkatkan potensi penularan HIV/AIDS. Terlebih sampai saat ini kondom masih menjadi hal yang dianggap tabu oleh masyarakat.
Sayangnya, hal tersebut belum bisa diubah dalam masyarakat karena terkait dengan perubahan perilaku dalam waktu singkat.
Gaungan untuk mensosialisasikan pentingnya memakai kondom sebagai alat proteksi diri dari penularan infeksi seksual menular juga kian mengecil.
“Di lapangan saya banyak menghadapi tantangan, seakan akan kita menghalalkan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan, padahal kalau pendekatannya bukan dari sana, kalau dari sisi kesehatan kita hanya bisa menganjurkan pemakaian kondom itu maksudnya,” ujarnya.
Sekretaris dan Koordinator Tim Asisten Penanggulangan AIDS Banten itu menuturkan saat ini kesadaran untuk menggunakan kondom semakin mengecil, meskipun peredarannya sudah dibebaskan dijual di berbagai minimarket yang ada.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, dia berharap supaya sosialisasi terkait kondom atau HIV/AIDS mulai digencarkan sejak saat ini di tingkat keluarga sebagai bentuk pencegahan dini dan mencegah penularan di tingkat anak-anak melalui orang tua.
Selain itu, orang tua harus memberikan bimbingan terkait literasi digital yang berkaitan dengan akses informasi ataupun hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dan seks bebas.
Hal itu ditujukan agar anak tidak mengambil tindakan yang salah di masa depan.
“Kita ingin menjadikan ibu center of excellent tadi. Nanti dia akan menularkan pengetahuannya pada anaknya sejak dini. Pendidikan seks harus dimulai sejak dini bukan setelah seseorang masuk akhir balik atau dewasa. Ini harus dibimbing bukan mencari sendiri, harus dibimbing orang tua,” ujar anggota panel ahli HIV/AIDS dan IMS Kemenkes itu.***