DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Harry Darsono PhD: Presiden RI 2024 Harus Orang yang Bukan Pro AS, tapi Pintar Menyiasati Ekonomi China

image
Harry Darsono, PhD tentang ekonomi AS dan Presiden RI 2024 penerus Jokowi.

ORBITINDONESIA.COM - Ini adalah analisis makro ekonomi saya menjelang dan pasca Pemilu 2024. AS sudah tutup buku (closed file). Setelah The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan pada 4 Mei 2022, bursa bereaksi.

Saham unggulan di AS berjatuhan. Apple, rontok $220 miliar. Microsoft telah kehilangan sekitar US$ 189 miliar. Tesla menyusut US$ 199 miliar. Amazon jatuh sebesar US$ 173 miliar. Alphabet, (Google), jatuh sebesar US$ 123 miliar, Nvidia kehilangan US$85 miliar. Meta Platforms induk Facebook telah kehilangan US$70 miliar.

Kalau ditotal, market telah kehilangan USD 1 triliun. Kejadian seperti ini sudah diprediksi sejak tahun sebelumnya. Terutama dampak dari tapering atau kenaikan suku bunga.

Baca Juga: Saiful Huda Ems: AHY, Purnawirawan Mayor yang Mimpi Jadi Capres atau Cawapres 2024

Sebelum invasi Rusia ke Ukrania, saya sudah restruktur rekening ETF saya. Pengalaman krisis 1998 dan 2008 mengajarkan banyak hal kepada saya. Saya juga menulis di blog dengan judul “Prahara ekonomi, hanya masalah waktu”.

Itu saya tulis pada bulan november 2021. Makanya minggu terjadi killing field di bursa, saya aman saja. Lantas apa penyebab sampai cepat sekali badai tornado itu datang. Apakah hanya karena kebijakan moneter AS? Mari kita analisis sederhana ala pedagang sempak.

Pertama, terjadinya over capacity di semua sektor produksi dan manufaktur. Terutama sektor teknologi. Yang peningkatannya bukan berdampak kepada efisiensi tetapi justru kerakusan yang berlebihan.

Sehingga terjadi bubble value. Ini sebenarnya teori dasar keuangan. Semua tahu dampak dari over capacity yang berujung over value. Tetapi para otoritas tidak berdaya menghalangi proses bubble value ini.

Baca Juga: Prediksi Pertandingan Piala FA Antara Man City vs Man United: Peluang Setan Merah Gagalkan Treble The Citizens

Kedua, dampak dari over capacity dan over value ini, memaksa para fund manager yang mengelola portfolio terjebak dalam bisnis ilusi. Memainkan harga demi menjaga aset agar tidak busuk, walau tahu sebagian besar aset yang mereka kelola sudah deadduck. Tidak ada hope.

Halaman:
1
2

Berita Terkait