Rosadi Jamani: Etnis Madura Belajar Banyak dari Konflik Sambas dan Sampit di Kalimantan
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 03 Februari 2023 06:25 WIB
ORBITINDONESIA - Pasca konflik berdarah antaretnis di Sambas dan Sampit, Kalimantan, semua pihak mengambil pelajaran yang sangat berharga. Khususnya bagi etnis Madura. Hal itu dinyatakan oleh Dr. Rosadi Jamani, dosen UNU (Universitas Nahdlatul Ulama) Kalimantan Barat.
Rosadi Jamani menyatakan itu dalam Webinar di Jakarta, Kamis malam, 2 Februari 2023. Webinar itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Diskusi Satupena itu dipandu oleh Swary Utami Dewi dan Karyani Tri Tialani.
Rosadi Jamani memaparkan, seusai konflik itu pelan-pelan mulai tumbuh perkumpulan atau paguyuban-paguyuban. Seperti MABM (Majelis Adat Budaya Melayu), IKM (Ikatan Keluarga Madura), dan perkumpulan etnis-etnis lain seperti Tionghoa, Bugis. Mereka juga melakukan hal yang sama.
Baca Juga: Jorok! Taksi Online Grab Ini Dipenuhi Kecoak, Customer Auto Shock
“Organisasi-organisasi ini menjadi sarana dialog antaretnis yang ada di Kalimantan Barat,” tutur Rosadi. “Kalau ada acara-acara tertentu, diundang itu semua tokoh-tokohnya.”
“Jangan sampai konflik-konflik antaretnis itu terulang lagi. Konflik itu sangat menyakitkan. Saya ketika masih mahasiswa, terjadi konflik. Kami waktu itu tidak bisa keluar gang,” tutur Rosadi.
“Gang itu ditutup dan kami tidak bisa ke mana-mana. Malam-malam itu, kami yang laki-laki melakukan ronda. Yang perempuan diam di dalam rumah. Suasana itu sangat menyeramkan,” ujarnya.
“Saya rasa, semua etnis yang ada di Kalbar sudah menyadari hal itu. Alhamdulillah, sampai saat ini tidak ada lagi konflik yang besar. Kalau pun ada konflik, sangat mudah dilokalisir dan didamaikan,” jelas Rosadi.
Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Satrio Arismunandar: Konflik Dayak vs Madura Lebih Disebabkan Beda Sistem Nilai
Merespon pertanyaan dari peserta webinar tentang Singkawang sebagai kota paling toleran se-Indonesia, Rosadi bercerita, dulu pernah ada konflik antara etnis Melayu dan Tionghoa di kota tersebut.
Orang Melayu berdemo dan memprotes keberadaan patung Naga di tengah kota Singkawang, yang didirikan oleh etnis Tionghoa. Tapi etnis Tionghoa tetap membela keberadaan patung itu. Etnis Dayak mendukung etnis Tionghoa.
“Kini patung Naga itu tetap bertahan kokoh dan malah menjadi ikon pariwisata di Singkawang,” tegas Rosadi. Walikota Singkawang membangun 3 gerbang terpisah ke area patung, yakni gerbang untuk orang Tionghoa, Dayak, dan Melayu.
Ini adalah cara pemerintah untuk membuat akur tiga etnis itu. “Kalau kita sekarang ke Singkawang, akan terasa keakuran dan berbaurnya etnis-etnis itu,” lanjut Rosadi.***