Islam Nusantara Anti Arab, Kata Siapa
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 28 Desember 2022 10:55 WIB
ORBITINDONESIA - Islam Nusantara Anti Arab? Kata Siapa – Islam Nusantara tersusun dari dua kata, yaitu kata Islam dan Nusantara.
Menurut Mustofa Bisri atau yang sering dikenal dengan gus Mus, Islam Nusantara dalam kajian ilmu Nahwu merupakan susunan idhafah dengan mengira-ngirakan huruf fi sehingga Islam Nusantara bermakna Islam yang ada di Nusantara.
Akhir-akhir ini terma Islam Nusantara sering kali didengar, apalagi setelah ormas Nahdlatul Ulama yang notabene ormas terbesar se-Indonesia itu mengangkatnya dalam tema Muktamar NU ke-33 di Jombang beberapa bulan silam bertajuk “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.
Baca Juga: Tekuk Bournemouth di Pekan 17 Liga Primer Inggris, Chelsea Kembali ke Jalur Kemenangan
Banyak respons terhadapnya, baik yang pro maupun yang kontra. Bagi yang pro mengatakan bahwa gagasan Islam Nusantara patut diapresiasi karena ia mengakomodir nilai budaya lokal yang dalam hal ini adalah Nusantara (Indonesia).
Adapun yang kontra terhadap terma ini menyatakan dengan kelakar “Islam ya Islam saja, tidak usah embel-embel Nusantara segala”.
Terma Islam Nusantara tersusun dari dua kata, yaitu kata Islam dan Nusantara. Menurut Mustofa Bisri atau yang sering dikenal dengan gus Mus, terma Islam Nusantara dalam kajian ilmu Nahwu merupakan susunan idhafah dengan mengira-ngirakan huruf fi sehingga Islam Nusantara bermakna Islam yang ada di Nusantara.
Yang perlu ditegaskan, Islam Nusantara bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam.
Baca Juga: TELAK, Tanggapi Denise Chariesta yang Jadi Selingkuhan Regi Datau, Begini Kata Ayu Dewi
Memang Islam bukanlah budaya sebab sebagaimana dikemukakan oleh Afifuddin Muhajir, Islam itu menyangkut dua ranah, yaitu ranah ilahiah dan insaniah.
Akan tetapi berhubung Islam juga dipraktekkan oleh manusia (ranah insaniah) tentu tidak dapat mengesampingkan eksistensi kebudayaan.
Sebagaimana yang sering disampaikan oleh KH. Said Aqil Siraj dalam beberapa pidato, bahwa Islam Nusantara bukanlah agama baru maupun aliran baru. Perwujudan Islam Nusantara adalah Islam faktual yang bisa dilihat secara sosiologis maupun antropologis.
Keberadaannya sudah tentu berbeda dengan Islam yang ada di Arab atau yang ada di Barat.
Baca Juga: Tanpa CR7, Manchester United Hajar Nottingham Forest di Pekan 17 Liga Primer Inggris
Islam Nusantara merupakan keberagamaan umat muslim yang terbangun atas dasar kondisi sosial-budaya-sejarah Nusantara yang panjang dan terbentuknya tidak Lepas dari para penyebar Islam di Nusantara utamanya para Walisongo.
Adapun menurut Gus Dur, Islam Nusantara –dengan penggunaan istilah pribumisasi Islam- bukanlah jawanisasi atau sinkretisme, sebab Islam Nusantara hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa menambah hukum itu sendiri.
Juga bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nas} dengan tetap memberikan peranan kepada us}u>l al-fiqh dan al-qa>’idah al-fiqhiyyah.
Islam Nusantara –atau pribumisasi Islam dalam bahasa gus Dur- tidaklah mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam dengan tujuan agar Islam dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya.
Baca Juga: 25 Drama Kisah Konflik Primordial di 5 Wilayah Setelah Reformasi dalam 25 Puisi Esai Denny JA
Islam Nusantara sama sekali tidak anti Arab. Justru Islam Nusantara sangat mengakomodir Arab.
Sebagai bukti, pesantren sebagai lambang dari Islam Nusantara, menggunakan kitab yang –kalau bisa dikatakan- semuanya menggunakan bahasa Arab.
Hanya saja agar memudahkan para santri dalam memahami kitab berbahasa Arab tersebut, maka para ulama Nusantara membuat metode “ngesahi” dengan menggunakan bahasa daerah di mana pesantren tersebut berada.
Sebagai contoh, mayoritas pesantren-pesantren salaf di Jawa menggunakan metode utawi iki iku untuk membaca sekaligus memahami kitab berbahasa Arab.
Baca Juga: Mengenal Ukuran Badai Siklon Tropis, Kecepatan, Diameter hingga Potensi Wilayahnya
Selain untuk memahami makna dalam kitab tersebut, penggunaan metode tersebut juga memudahkan para santri untuk belajar ilmu tata bahasa Arab atau sering disebut ilmu Nahwu.
Sebagai contoh, ketika guru membaca utawi, itu menunjukkan berarti kata tersebut kedudukannya sebagai mubtada’, iku berarti menjadi khabar, apa menjadi fa’il atau naibul fa’il, ing berarti menjadi maf’ul bih dan masih banyak lainnya.
Selain itu, tahlilan, barzanzian, diba’an, yang identik dengan Islam Nusantara semuanya juga menggunakan zikir-zikir yang masih dalam keadaan aslinya, yaitu dalam bahasa Arab.
Patut diketahui bahwa Islam Nusantara bukanlah untuk mengubah doktrin-doktrin dasar Islam. Ia hanya memberikan corak yang sesuai dengan budaya Nusantara.
Islam Nusantara bukan berarti shalat harus menggunakan bahasa Indonesia dan menggunakan kain kafan batik bagi mayit sebab hal itu terang-terang berseberangan dengan ajaran Islam.
Secara sanad keilmuan, mayoritas ulama-ulama Nusantara dahulu pernah belajar ke Hijaz, bahkan mempunyai karya-karya yang ditulis dengan bahasa Arab.
Sebut saja Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Mahfud Tremas, Syaikh Ihsan Jampes dan ulama Nusantara yang lain merupakan nama-nama ulama Nusantara yang tersohor di Negeri Arab.
Sudah berapa banyak karya yang ditulis dan diterbitkan menggunakan bahasa Arab.
Baca Juga: Heru Margianto: Mungkinkah Kita Mengikuti Yesus Tanpa Harus Menganut Agama Kristen
Jadi, kesimpulannya Islam Nusantara bukan Islam yang anti Arab, ia merupakan perwujudan dari Islam yang rahmatan lil ‘alamin yang dapat diterima oleh siapapun tanpa ada batasan geografis teritorial. Wallahu A’lam.
(Afif Ghorsiki/Emha Yordanis /aswajanucenterjatim.or.id)
Sumber:
Ahmad Mustofa Bisri, “Islam Nusantara, Makhluk Apakah Itu?, dalam Akhmad Sahal (ed), Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2015), 14.
Afifuddin Muhajir, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”, dalam Akhmad Sahal (ed), Islam Nusantara, 65.
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dalam Akhmad Sahal (ed), Islam Nusantara, 35.***