DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Makna Merdeka Menurut Direktur LKaF, Husain Heriyanto

image
Husain Heriyanto

 

ORBITINDONESIA - Makna merdeka ada dua macam level, yaitu: merdeka dari (freedom from) dan merdeka untuk (freedom for). Hal itu dikatakan Husain Heriyanto, Direktur LKaF (Lingkar Kaji Filsafat), dalam tulisannya yang tersebar di media sosial, 17 Agustus 2022.

 "Merdeka dari" – kata Husain Heriyanto - berlaku pada ranah sosial, yaitu kemerdekaan dan kebebasan dari penjajahan, diskriminasi, pengekangan HAM, pembodohan, tipu daya, ketergantungan, ketakutan, penindasan, intimidasi dan pelbagai macam belenggu sosial.

Sedangkan, "merdeka untuk" berlaku pada ranah eksistensial-kemanusiaan, yaitu kapasitas penuh untuk menjadi manusia utuh (to be human) melalui aktualisasi potensi-potensi khas manusiawi. “Yaitu, intelektualitas, moralitas, dan spiritualitas,” lanjut Husain Heriyanto.

Baca Juga: Bercuit di Twitter, Presiden Jokowi Ajak Masyarakat Dukung Agenda Besar Bangsa Indonesia

"Merdeka dari" ada batasan dan rambu-rambu; disebutkan misalnya "kebebasan" dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kebebasan ini merupakan kebebasan sosial.

"Merdeka untuk" tidak ada batasan kecuali prinsip realitas itu sendiri, yaitu kebenaran. Tidak ada yg bisa membatasi aktualisasi kemanusiaan seseorang kecuali dirinya sendiri.

Apa itu? “Kebodohan, kejahilan murakkab (tidak tahu bahwa ia tidak tahu), lemahnya kehendak, kedangkalan wawasan, pendeknya pikiran, ketaksadaran-sedang-berproses menjadi manusia, rendahnya watak dan perangai,” tutur Husain.

“Dengan kata lain, jika Anda masih jauh dari kapasitas manusia Hayy bin Yaqzhan (The Alive Son of Awakening), yang mampu otodidak-otonom menemukan dan merenangi lautan kebenaran-realitas, tidak ada yg Anda kutuk kecuali Diri Anda sendiri yg tertidur lelap,” lanjutnya.

Baca Juga: Jadwal Liga 1: Barito Putera Melawan Bali United Disiarkan Indosiar Kamis Sore

Husain mengutip Quran: innahu kaana zhaluuman jahuulan (Sesungguhnya kebanyakan manusia itu menganiaya diri sendiri dan tidak mengenal diri sendiri), demikian firman Tuhan dalam Al-Quran 33:72.

Menurut Husain, setiap kali ia tanyakan apa yang dimaksudkan dengan "memanusiakan manusia", kepada mahasiswa (S1, S2, S3),  rekan sarjana, aktivis sosial, agamawan, dan banyak orang, hampir semuanya menjawab terbatas pada ranah  tindakan (to do).

Seperti: berbuat baik, menolong sesama, membela yang lemah, melawan kejahatan, dan seabrek daftar kewajiban moral.

“Jawaban itu tentu tidak salah; itu benar. Yang mengagetkan adalah ketika didesak untuk mendeskripsikan jawaban, mereka hanya berkutat pada ranah aksiologis; nyaris tak ada yang merujuk ranah to know apalagi ranah to be,” ujar doktor lulusan Filsafat UI ini.

Baca Juga: Bela Mariana Soal Curi Coklat di Alfamart, Farhat Abbas: Ibu Itu Nggak Maling, Lupa Bayar

Sangat sedikit yang menjawab "memanusiakan manusia" itu adalah meningkatkan pengetahuan dan wawasan, memurnikan jiwa dan seterusnya.

Dan nyaris tak ada yang menjawab "memanusiakan manusia" itu adalah mengenal jati diri sebagai manusia, berani mengada diri sendiri (the courage to be), miliki kemandirian dalam berpikir dan bersikap.

Ternyata, sinyalemen ayat Al-Quran itu adalah benar adanya (demonstratif, burhan),  bukan dialektika dan retorika.

“Saya pun khawatir tergolong ke dalam manusia yg aniaya dan jahil diri sendiri! Laa hawla wa laa quwwata illa billaah,” tutup Husain. ***

Berita Terkait