Apa Alasan Seseorang Bisa Selingkuh? Ini Menurut Basis Neurosains Berkaitan dengan Kondisi Otaknya
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 10 Oktober 2022 16:57 WIB
ORBITINDONESIA- Maraknya isu kasus selingkuh di masyarakat memicu banyak permasalahan, dari KDRT, harta, sampai urusan ranjang.
Kondisi mental seseorang termasuk selingkuh, memiliki kaitan yang erat dengan kesehatan otaknya.
Pada hari kesehatan mental sedunia 10 Oktober 2022, simak informasi alasan sebenarnya seseorang berselingkuh, sehingga permasalahan bisa diatasi dari akarnya.
Baca Juga: Podcast Reza Arap dan Wendy Walters Kembali Diungkit Dari Adopsi Anak Hingga Jika Selingkuh
Antara perselingkuhan, kesehatan otak, dan kondisi mental seseorang memiliki hubungan yang saling berkesinambungan.
Seseorang dapat selingkuh karena kondisi otaknya, bukan semata meninggalkan istri demi wanita lebih cantik atau meninggalkan suami demi pria yang lebih mapan.
Ada empat alasan berbasis neurosains seseorang dapat berselingkuh menurut CEO Stress Management Indonesia Coach Pris, berikut ulasannya:
Baca Juga: Musim Hujan Telah Tiba, Waspada Banyak Penyakit Menular Apa sajakah itu?
1. Kecanduan euforia cinta
Pengalaman indah jatuh cinta dan tergila-gila dengan seseorang tidak bertahan selamanya. Ahli saraf menemukan setelah enam bulan hingga dua tahun, rasa cinta yang menggebu-gebu berubah menjadi cinta dan komitmen yang lebih dalam atau keputusan untuk berpisah dan melepaskan diri.
Banyak terapis pasangan mengatakan perselingkuhan terjadi karena orang salah mengira kurangnya intensitas dan euforia sebagai tanda mereka telah putus cinta. Kurangnya euforia ini dapat mendorong seseorang untuk mencari pasangan lain untuk mencoba menciptakan kembali intensitas cinta yang tinggi.
Bagi sebagian orang, kebutuhan untuk merasakan aliran cinta baru membuat mereka terus mencari hubungan di luar nikah.
Baca Juga: Musim Hujan Telah Tiba, Saatnya Jaga Daya Tahan Tubuh dengan Hal Ini
2. Kehilangan sirkuit kontrol diri
Sirkuit kontrol diri adalah sistem penyeimbang antara bagian otak limbik yang memotivasi untuk mencari aktivitas yang menyenangkan dan bagian otak korteks prefrontal (PFC) yang membuat seseorang berpikir dua kali sebelum terlibat dalam perilaku berisiko, seperti perselingkuhan.
Ketika sirkuit kontrol diri seimbang, kontrol impuls memadai menghentikan seseorang dari berselingkuh.
Baca Juga: 5 Manfaat Olahraga Bagi Tubuh, Salah Satunya Mengurangi Stres
Namun, ketika aktivitas PFC rendah, terjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan seseorang menyerah pada keinginan impulsif tanpa memikirkan konsekuensinya.
Studi pencitraan otak menunjukkan orang dengan aktivitas rendah di PFC lebih mungkin untuk bercerai.
Stress Management Indonesia memiliki program seperti Brain Health Assessment untuk mengetahui kondisi sirkuit kontrol diri otak seseorang.
Baca Juga: Jangan Pernah Paksa Mobil Anda Terjang Banjir, Jika Tidak Ingin Dapat Risiko yang Mengancam Seperti Ini
3. Faktor testosteron
Sebuah studi tahun 2019 menemukan pria dengan kadar testosteron tinggi lebih mungkin untuk melakukan perselingkuhan daripada pria dengan kadar testosteron yang lebih rendah.
Testosteron terlibat dalam suasana hati, motivasi, dan seksualitas. Tingkat testosteron yang tinggi dikaitkan dengan empati yang lebih rendah dan hawa nafsu yang tinggi, yang bisa menjadi resep untuk berselingkuh.
Baca Juga: Ternyata Stres Bisa Menjadi Pemicu Anak Mengalami Gangguan Makan, Apa Kata Psikolog
4. Otak yang tidak setia itu berbeda
Studi pencitraan otak telah menemukan otak seseorang yang setia berbeda dari yang selingkuh. Ketika seseorang melihat gambar romantis seperti pasangan berpegangan tangan atau menatap mata satu sama lain, misalnya, aktivasi otak berbeda antara yang setia dan tidak setia.
Penelitian menunjukkan orang yang setia menunjukkan lebih banyak aktivitas saraf terkait hadiah saat melihat gambar romantis dibandingkan dengan orang yang tidak setia.
Lebih lanjut, Coach Pris memberikan kiat untuk mencegah terjadinya perselingkuhan, salah satunya sebaiknya pasangan saling mengenal kondisi satu sama lain sebelum menikah.
Baca Juga: Segera Sadari Terkait Bahayanya Depresi, Ini Menurut Psikolog
Hal ini guna bisa memahami kondisi pasangannya dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memperbaiki kondisi.
Pasangan yang sehat akan membentuk anak yang sehat, kemudian mempengaruhi lingkungan sekitar menjadi lebih sehat juga.
Untuk mencapai revolusi mental di Indonesia, bisa dimulai dari memperbaiki kondisi unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga.***