Review Buku "Ekoteologi" Kementerian Agama RI
ORBITINDONESIA - Buku Ekoteologi: Mengamalkan Iman, Melestarikan Lingkungan terbitan Kementerian Agama RI tahun 2025 hadir bukan sekadar sebagai buku kebijakan, melainkan sebagai penanda perubahan cara negara memaknai relasi antara iman, manusia, dan alam, dengan menegaskan bahwa krisis ekologi adalah krisis spiritual dan moral sekaligus.
Buku ini berangkat dari kesadaran bahwa kerusakan lingkungan global dan nasional tidak cukup dijawab dengan pendekatan teknokratis, sebab data ilmiah tentang pemanasan global, deforestasi, polusi, dan kepunahan spesies justru memperlihatkan kegagalan etika manusia modern dalam memosisikan bumi.
Bagian paling kuat dari buku ini terletak pada tesis bahwa iman, ilmu, dan amal harus dipertautkan secara utuh, karena iman tanpa aksi akan menjadi retorika, ilmu tanpa iman kehilangan makna, dan amal tanpa ilmu berisiko salah arah.
Ekoteologi dalam buku ini tidak dipahami sebagai wacana teologis abstrak, melainkan sebagai kerangka praksis yang mengintegrasikan nilai keagamaan lintas iman dengan agenda keberlanjutan.
Buku ini dengan rapi menelusuri akar krisis ekologi sebagai krisis spiritual, di mana manusia terjebak dalam paradigma eksploitatif dan memandang alam semata sebagai objek ekonomi, bukan sebagai ciptaan yang memiliki nilai intrinsik.
Salah satu bagian paling menarik adalah penegasan bahwa semua agama memiliki fondasi ekologis yang kuat, mulai dari konsep khalifah fil ardh dalam Islam, mandat pemeliharaan taman Eden dalam Kristen, Tri Hita Karana dalam Hindu, interbeing dalam Buddhisme, hingga Sancai dalam Khonghucu, yang semuanya memperlihatkan bahwa etika lingkungan bukanlah gagasan asing dalam tradisi keagamaan.
Buku ini juga secara cerdas mengaitkan ajaran agama dengan kearifan lokal Nusantara seperti sasi, subak, dan hutan larangan adat, yang menunjukkan bahwa spiritualitas ekologis telah lama hidup dalam praktik masyarakat Indonesia.
Keunggulan lain buku ini terletak pada penyusunan peta jalan praksis ekoteologi yang konkret dan terukur, mulai dari komitmen belajar, transformasi spiritualitas, penerapan aksi nyata, penguatan kebijakan dan budaya, hingga evaluasi berkelanjutan.
Ekoteologi di sini tidak berhenti pada ajakan moral, tetapi diterjemahkan menjadi program nyata seperti rumah ibadah ramah lingkungan, KUA hijau, eco-office, integrasi kurikulum pendidikan agama, hingga ekonomi hijau berbasis pesantren dan komunitas.
Yang patut dicatat, buku ini secara eksplisit menempatkan ekoteologi sebagai instrumen kebijakan negara yang selaras dengan RPJMN 2025–2029 dan Asta Protas Kemenag, sehingga memberi legitimasi teologis dan administratif sekaligus.
Bahasa buku ini relatif lugas untuk ukuran dokumen kebijakan, namun tetap menjaga kedalaman analisis, terutama ketika menekankan bahwa merawat bumi adalah bagian dari ibadah dan amal jariyah lintas generasi.
Buku ini juga menolak pendekatan sektoral dengan menegaskan bahwa keberhasilan ekoteologi hanya mungkin melalui kerja kolektif lintas kementerian, ormas keagamaan, komunitas adat, akademisi, aktivis, dan generasi muda.
Secara keseluruhan, Ekoteologi adalah upaya serius negara untuk menjadikan agama sebagai sumber solusi ekologis, bukan sekadar penghibur spiritual, sekaligus mengajak pembaca merevisi cara beriman, dari yang antroposentris menuju iman yang menghadirkan rahmat bagi seluruh ciptaan.***