Naikkan Biaya Logistik, Pembatasan Operasional Truk Sumbu 3 Saat Nataru 2025/2026 Tak Searah dengan Menko Perekonomian

ORBITINDONESIA.COM - Pembatasan truk sumbu 3 atau lebih saat liburan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru) dipastikan akan memicu naiknya biaya logistik. Padahal, saat ini biaya logistik Indonesia masih sangat tinggi atau mencapai 14,5 persen. 

Seperti diketahui, dalam SKB bernomor KP-DRJD 6064/2025, HK.201/11/19/DJPL/2025, 104/KPTS/Db/2025, dan Kep/230/XI/2025, pemerintah membatasi pergerakan truk sumbu tiga atau lebih, truk dengan kereta gandengan/tempelan, serta kendaraan barang pengangkut galian, tambang, dan bahan bangunan selama 11 hari, yaitu pada 19-20 Desember 2025, 23-28 Desember 2025, dan 2-4 Januari 2026.

Disebutkan, di hari-hari tersebut truk sumbu 3 atau lebih ini hanya diizinkan beroperasi di jalur arteri mulai pukul 10 malam hingga 5 pagi.
 
Dosen dan Ketua Pusat Studi Rantai Pasok Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Prof. Sani Susanto mengatakan, tidak tertutup kemungkinan pembatasan truk sumbu 3 atau lebih saat Nataru nanti akan menimbulkan dampak terhadap industri logistik dan makro ekonomi. “Apalagi waktu penerapannya juga relatif lama, yaitu 11 hari,” katanya. 

Menurutnya, kebijakan pembatasan terhadap mobilitas angkutan logistik pada saat Nataru nanti seharusnya tidak dilakukan secara mendadak tapi harus diberitahukan jauh-jauh hari sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi para pelaku logistik agar bisa berbenah. 

“Pengumuman kebijakan pembatasan terhadap operasional truk-truk logistik sumbu tiga yang sangat mendadak akan membuat kebingungan bagi pelaku-pelaku logistik yang tidak sempat mempersiapkan diri lagi untuk berbenah,” ucapnya.

Dari sisi industri logistik, lanjutnya, pembatasan truk sumbu 3 atau lebih itu dapat menimbulkan gangguan rantai pasok. Di antaranya, menyebabkan terganggunya pengiriman bahan baku industri manufaktur, terhentinya operasi industri manufaktur, yang pada gilirannya akan mengganggu sistem distribusi ke retailer dan konsumen akhir. 

Selain itu, menurutnya, truk-truk yang menganggur selama libur Nataru pun menimbulkan biaya tersendiri, yang pada gilirannya membuat biaya ekspedisi  meningkat. “Hal itu disebabkan truk sumbu 3 itu adalah tulang punggung dan jantungnya transportasi antar kota,” tuturnya.

Sementara, kata Prof. Sani, dari sisi makroekonomi, jika logistik melambat maka produksi pabrik ikut melambat, output industri menurun, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB juga menurun. Dijelaskan, melambatnya produksi pabrik membuat distribusi barang antar wilayah tertunda, sehingga arus perdagangan antar daerah melemah.

“Pembatasan ini akan terasa beberapa hari atau minggu kemudian dampaknya, terutama dalam bidang pangan, pasokan berkurang, harga pangan akan naik, dan ketenangan masyarakat terganggu,” ucapnya.

Jadi, dia mengatakan aturan pembatasan angkutan logistik truk sumbu tiga atau lebih pada saat Nataru nanti jelas akan menyebabkan penambahan biaya yang tinggi bagi industri. Di mana, barang-barang yang tadinya bisa diangkut cukup hanya dengan satu truk saja, tapi dengan adanya aturan ini, mau tidak mau armadanya harus ditambah.

“Penambahan truk  yang menjadi berlipat-lipat ini tentu akan menimbulkan biaya yang semakin tinggi juga bagi pelaku logistik. Jika itu terjadi, harga barang-barang di pasar juga pasti akan naik dan otomatis membuat masyarakat juga terkena imbasnya,” tukasnya. 

Tidak itu saja, menurutnya, dengan adanya penambahan jumlah truk, lalu-lintas di jalan juga otomatis akan bertambah dan justru semakin menimbulkan kepadatan di jalan. “Sebetulnya itu yang terjadi, jumlah kendaraan di jalan bukannya semakin berkurang tapi bertambah dengan bertambahnya jumlah truk sumbu dua,” tukasnya. 

Jadi, menurutnya, banyak masalah yang harus dipersiapkan jika pemerintah ingin membuat kebijakan pembatasan terhadap operasional angkutan logistik agar tidak mengganggu para pelaku logistik. “Perlu diskusi antar semua stakeholder yang terlibat, dan itu tidak bisa dilakukan hanya dalam waktu cepat seperti yang dilakukan saat ini,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa pemerintah menargetkan penurunan biaya logistik nasional menjadi 8 persen dalam lima tahun ke depan. Saat ini biayanya mencapai 14,5 persen dan diharapkan turun ke 12,5 persen dalam tahap awal. “Kita mendorong logistik kita agar yang saat ini di kisaran 14,5 persen itu diharapkan bisa diturunkan menjadi 12,5 persen dan kembali turun ke 8 persen,” ujarnya. 

Secara global, peringkat Indonesia dalam Logistics Performance Index (LPI) 2023 berada di posisi 61 dari 139 negara.

Hal senada juga disampaikan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda. Dia khawatir pembatasan terhadap truk sumbu 3 atau lebih selama 11 hari saat Nataru nanti bisa menyebabkan terjadinya penumpukan  angkutan barang di Terminal Tanjung Priok beberapa waktu lalu. “Jadi, aturan pembatasan itu harus dilakukan dengan cermat dan waktunya tidak boleh mendadak seperti saat ini,” ujarnya.

Artinya, lanjutnya, pembatasan itu tidak pukul rata diberlakukan untuk semua industri. Misalkan, industri yang memang sampai akhir tahun itu masih beroperasi secara luar biasa atau pabriknya masih tetap beroperasi, sebaiknya diberikan keringanan dengan mengizinkan mereka untuk tetap bisa menggunakan truk sumbu 3 atau lebih. Tapi, kalau industri yang memang sifatnya perdagangan saja, pembatasan itu mungkin bisa diberlakukan karena mereka bisa menyetok barang di gudang penyimpanan.

“Jadi, perlu didata seperti itu dan jangan dipukul rata agar tidak merugikan industri yang memang benar-benar harus beroperasi dengan truk sumbu 3 saat Nataru nanti,” katanya. ***