Kasus Delpedro: Antara Kebebasan Berekspresi dan Penghasutan

ORBITINDONESIA.COM – Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen, menghadapi dakwaan penghasutan yang mengguncang jagat maya. Berawal dari unggahan media sosial, kasus ini mengantarkannya ke meja hijau dengan tuduhan serius. Pertanyaannya, di mana batas antara kebebasan berekspresi dan tindakan ilegal?

Delpedro Marhaen, bersama tiga terdakwa lainnya, didakwa melakukan penghasutan melalui media sosial yang memicu kerusuhan di Indonesia. Jaksa menyatakan bahwa unggahan mereka di Instagram menciptakan gelombang kebencian dan kerusuhan publik. Konten yang diunggah menciptakan efek jaringan yang kuat, menarik perhatian algoritma media sosial, dan menimbulkan kericuhan di masyarakat.

Pada Agustus 2025, serangkaian unggahan di media sosial mendorong terjadinya demonstrasi yang berakhir ricuh. Melalui tagar konsisten seperti #indonesiagelap dan #gejayanmemanggil, para terdakwa disebut berhasil memobilisasi massa. Namun, ini menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan keamanan publik. Bagaimana media sosial berperan dalam menyebarkan pesan yang dapat memicu kerusuhan?

Kasus ini mengundang perdebatan sengit tentang batas-batas kebebasan berekspresi. Banyak yang melihat tindakan Delpedro sebagai bentuk protes sah, sementara pemerintah menilainya sebagai penghasutan. Ini menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia dalam menangani disonansi antara hak individu dan stabilitas sosial. Kebijakan media sosial dan regulasi informasi elektronik kini menjadi sorotan utama.

Kasus Delpedro mengingatkan kita akan kompleksitas kebebasan berekspresi di era digital. Di satu sisi, media sosial memungkinkan suara individu didengar, namun di sisi lain, dapat memicu konflik. Bagaimana kita memastikan bahwa kebebasan ini tidak disalahgunakan untuk tujuan destruktif? Ini adalah tantangan yang perlu dijawab dalam membangun masyarakat yang adil dan damai.

(Orbit dari berbagai sumber, 17 Desember 2025)