Denny JA: Kembali Mencintai Bumi Setelah Sumatra Menangis
- Festival Puisi Esai Jakarta ke-3, 2025. Total Lomba: Hadiah 185 Juta Rupiah
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - Ada hari-hari ketika bumi tidak hanya retak oleh bencana, tetapi juga oleh kesunyian kita.
Dan Sumatra, yang di akhir November- Desember 2025 menjadi ladang air mata, adalah salah satu hari itu.
Ketika 800 lebih nyawa hanyut dalam gelap,ketika bukit-bukit yang setia selama ribuan tahun runtuh seketika, ketika banyak keluarga hilang tanpa jejak, kita tahu.
Ini bukan lagi sekadar bencana alam. Ini adalah pesan, ditulis dengan air bah, tanah longsor, dan jeritan yang tak terdengar oleh mikrofon mana pun.
Bumi tidak lagi menunggu kita sadar. Ia mengetuk dengan keras. Dengan banjir, ia mengetuk.
Dengan longsor, ia mengetuk. Dengan desa dan kota yang tenggelam, dengan udara yang makin berat, dengan hutan yang lenyap seperti catatan harian yang dibakar, ia terus mengetuk, bertanya:
Masihkah kalian mencintaiku?
Atau kalian hanya mencintaiku ketika aku masih memberi, namun melupakanku ketika aku terluka?
-000-
Pada bencana di Sumatra akhir 2025, air tidak turun begitu saja dari langit; ia mengalir di antara jejak keputusan manusia.
Di balik angka korban jiwa dan rumah yang hilang, ada sejarah pembalakan, alih fungsi lahan, kelapa sawit yang menggerus bukit, serta pengawasan yang lalai.
Banjir dan longsor itu bukan hanya “murka alam”, melainkan akumulasi dari kebijakan yang menempatkan keuntungan jangka pendek di atas keselamatan warga.
Karena itu, ketika puisi esai bicara tentang Sumatra yang menangis, ia tidak boleh berhenti pada ratapan. Esai dan Sastra yang bertanggung jawab harus berani menyebut aktor, struktur, dan pola kebijakan yang membuat desa-desa rapuh di hadapan hujan ekstrem.
Dari sana, empati tidak berhenti sebagai air mata di halaman buku, tetapi bergerak menjadi tuntutan atas tata ruang yang adil, perlindungan hutan, dan mekanisme tanggap bencana yang berpihak pada yang paling rentan.
Dalam kerangka itulah sebuah festival sastra layak menempatkan diri: bukan sekadar panggung nama, hadiah, dan promosi genre, melainkan ruang belajar bersama antara penyintas, aktivis lingkungan, peneliti, jurnalis, dan penulis.
Puisi esai, atau bentuk apa pun, hanya sah menyebut diri jembatan jika ia betul-betul menghubungkan pengalaman korban dengan pengetahuan kritis dan tindakan sosial nyata: diskusi kebijakan, penggalangan dukungan bagi komunitas terdampak, serta dokumentasi yang jujur atas luka yang terjadi.
-000-
Di sinilah puisi esai menemukan panggungnya. Bukan sekadar sebagai genre, melainkan sebagai jembatan spiritual antara tragedi dan kesadaran, antara fakta dan empati, antara data bencana dan air mata manusia.
Festival Puisi Esai Jakarta ke-3, 2025 memilih tema “Kembali Mencintai Bumi Setelah Sumatra Menangis.”
Kita membutuhkan lebih dari sekadar laporan bencana. Kita menginginkan bahasa yang bisa membuka hati.
Bahasa yang memulihkan ingatan kita sebagai makhluk yang memiliki rumah, bukan hanya tempat berteduh, tetapi ibu kandung.
Tema ini penting bukan hanya untuk sastra, tetapi untuk peradaban. Karena sebelum kebijakan lahir, harus ada kesadaran yang tumbuh.
Dan kesadaran tidak tumbuh dari hitungan kerugian, tapi dari kisah manusia.
Kisah yang membekas, kisah yang membuat kita menunduk, kisah yang membuat kita menangis lalu bergerak.
Sastra, termasuk puisi esai, adalah cara umat manusia memelihara nurani.
-000-
Festival bukan hanya dan sekadar tatap muka. Dalam abad digital, festival adalah arus kesadaran kolektif, suara-suara dari ribuan manusia yang beresonansi, melintasi layar, ruang tamu, dan ruang batin.
Karena itu, sejak 2025, Festival Puisi Esai Jakarta memilih format baru: tatap muka hanya tiga tahun sekali, namun setiap tahun tetap bergerak melalui lomba, pembacaan, penulisan, dan advokasi.
Festival adalah perayaan akal dan rasa. Ia tidak dibatasi gedung atau panggung, tetapi oleh kesediaan kita untuk hadir sebagai manusia yang peduli.
Festival yang sungguh mencintai bumi tidak berhenti pada tepuk tangan dan cahaya panggung. Ia menjelma dalam keputusan-keputusan kecil yang diambil setelah acara usai.
Misalnya, penulis yang memilih meneliti jejak izin tambang di kampungnya, pembaca yang mulai mempertanyakan dari mana kayu rumahnya berasal.
Peserta memastikan sebagian dana dan perhatian mengalir kembali ke desa-desa yang kini hidup di tepi jurang bencana.
Di titik-titik sunyi setelah keramaian itulah kata-kata diuji: apakah ia hanya indah di spanduk, atau benar-benar mengubah cara kita menatap tanah di bawah kaki.
-000-
Dan tahun ini, festival hidup melalui enam kegiatan, tiga lomba besar dan tiga program kreatif, yang semuanya diarahkan pada satu seruan:
Mari cintai bumi sebelum ia berhenti melundungi kita selayaknya ibu kandung.
1. Lomba Membaca Puisi Esai: “Cintai Lingkungan Hidup”
Para peserta lomba diminta membaca puisi esai “Bukit Itu Menangis Menimbun Satu Keluarga,” karya Denny JA, di platform apa pun: YouTube, TikTok, Instagram, Facebook.
Puisi esai itu dilampirkan melalu link di bagian akhir esai ini.
Pembacaan ini bukan sekadar membaca puisi. Ia adalah ritual ingatan, bahwa di balik setiap longsor ada nama-nama, ada pakaian terakhir yang belum sempat kering, ada doa yang tak sempat selesai.
Upload hingga 15 Januari 2026, dan buatkan Hastag #FestivalPuisiEsai2025.
Sepuluh pemenang: total hadiah 30 juta. Pemenang pertama: 10 juta.
Puisi itu bisa dibaca dalam link dan lampiran bersama esai ini.
2. Lomba Menulis Puisi Esai: “Cintai Bumi Kembali Setelah Sumatra Menangis”
Luka sosial butuh medium. Dan puisi esai adalah medium itu, tempat fakta dan fiksi melahirkan empati baru.
Lima puluh pemenang akan dipilih. Hadiah total 50 juta rupiah. Pemenang pertama: 10 juta.
Karya-karya akan dibukukan dan dibagikan sebagai PDF untuk menyebar sejauh mungkin, sejauh tanggung jawab kita kepada bumi.
Apa itu puisi esai dan cara menulisnya di lampirkan dalam link di bagian akhir esai ini.
-000-
3. Lomba Menulis Esai: Mengapa Puisi Esai Tepat untuk Luka Sosial
Puisi esai kini semakin mendapat pengakuan internasional, terutama setelah BRICS Award 2025 memberikan penghargaan untuk Inovasi Sastra kepada penciptanya.
BRICS, perkumpulan geopolitik raksasa, rumah bagi 45% populasi dunia, menilai puisi esai sebagai jembatan baru antara seni, fakta, dan advokasi sosial.
Di hadapan mereka yang kehilangan rumah, penghargaan, panggung, dan gelar-gelar dunia tiba-tiba mengecil ukurannya.
Yang lebih penting dari pengakuan lembaga mana pun adalah kesediaan sastra untuk berdiri bersama yang hancur: menjadi arsip bagi nama-nama yang hilang, cermin yang jujur bagi kekuasaan, dan api kecil yang menghangatkan mereka yang berjuang memulihkan hidupnya.
Jika sebuah puisi, esai, atau festival layak disebut berhasil, ukurannya bukan seberapa sering ia dipuji, melainkan seberapa jauh ia membuat kita malu untuk kembali merusak bumi dan abai pada sesama
Esai 500–2500 kata tentang tema ini akan melahirkan 10 pemenang, dengan total hadiah 30 juta (pemenang pertama 10 juta).
Agar dapat menulis lebih detil, apa itu puisi esai dilampirkan melalui link di bagian bawah esai ini.
4. Menulis Puisi Esai Bersama 50 Penulis Terpilih (Global Edition)
Untuk pertama kalinya, puisi esai tentang lingkungan hidup akan ditulis bersama oleh 50 penulis dari Aceh sampai Papua, dari Asia Tenggara hingga Eropa dan Timur Tengah.
Semua karya akan diterjemahkan ke 6 bahasa dunia: Inggris, Prancis, Spanyol, Arab, Mandarin, Rusia.
Total dana: 75 juta rupiah.
5.DONASI KOMUNITAS PUISI ESAI UNTUK KORBAN BENCANA
Juga akan diselenggarakan aksi sosial komunitas puisi esai untuk korban bencana Sumatra, dalam bentuk sembako, pakaian, dan kebutuhan darurat lain.
-000-
Sumatra menangis bukan hanya luka Indonesia. Ia luka umat manusia.
Sumatra telah menangis. Bukit-bukit telah runtuh.
Ratusan keluarga kini tinggal nama. Tapi tragedi bukan akhir,
ia adalah undangan untuk berubah.
Festival Puisi Esai Jakarta ke-3 ini adalah doa kolektif kita, dinyanyikan melalui kata-kata, video, suara, dan empati.
Ketika puisi dibaca, ketika esai ditulis, ketika kisah dibagikan, kita sedang menyalakan kembali salah satu api tertua dalam peradaban manusia:
cinta kepada bumi.
Dan mungkin, di masa depan,
ketika para anak cucu kita menulis sejarah, mereka akan berkata:
“Pada tahun 2025,
ketika Sumatra menangis,
ada sekelompok manusia
yang memutuskan untuk tidak membalas dengan diam.
Mereka memilih kata.
Mereka memilih kesadaran.
Mereka memilih cinta.”
Festival ini bukan hanya perayaan sastra, tetapi perayaan keberanian untuk berubah.
Mari kita cintai bumi kembali, sebelum air mata berikutnya jatuh tanpa peringatan.*
(Silahkan persiapkan diri. Keterangan lebih detil akan disampaikan panitia melalui aneka medsos)
KONTAK PANITIA
teks saja di WA:
081188066227
Paris, 7 Desember 2025
Link:
1. Puisi Esai: Bukit Itu Menangis Menimbun Satu Keluarga
https://www.facebook.com/share/p/1DKngnY7vG/?mibextid=wwXIfr
2.Apa itu Puisi Esai
https://www.facebook.com/share/p/1aEZS2UbuZ/?mibextid=wwXIfr
3.TIPS dan Panduan menulis Puisi Esai
https://www.facebook.com/share/p/17mDm1j4fT/?mibextid=wwXIfr