Rasisme yang Mengganggu dalam Kewarganegaraan Israel: Sebuah Etnostat dalam Praktik
ORBITINDONESIA.COM - Dalam beberapa tahun terakhir, wacana banyak pembela Negara Israel—baik Zionis Israel maupun Kristen—telah mengungkap arus bawah yang meresahkan: rasisme struktural yang disamarkan sebagai pembelaan nasional atau "hak untuk hidup", tetapi dalam praktiknya bermanifestasi sebagai dehumanisasi sistematis terhadap rakyat Palestina.
Ini bukan tuduhan ringan atau sekadar pengamatan moral; ini adalah fenomena yang terlihat dari bagaimana kekerasan terhadap warga sipil dibicarakan, dibenarkan, dan bahkan dirayakan, di bawah narasi yang mengaitkan identitas Palestina dengan ancaman.
Paradoksnya sangat mendalam. Secara historis, orang-orang Yahudi adalah korban dari salah satu kampanye dehumanisasi paling kejam di abad ke-20: Nazisme.
Namun saat ini, wacana Zionis yang dominan—harus diperjelas, bukan semua orang Israel atau semua orang Yahudi—mereproduksi mekanisme pengucilan, ejekan, dan penyangkalan serupa terhadap kemanusiaan orang lain. Penderitaan Palestina diejek, kematian anak-anak dinormalisasi, dan pemusnahan seluruh komunitas dibingkai ulang sebagai "kerusakan tambahan yang diperlukan."
Media sosial berfungsi sebagai cermin di mana ideologi ini terekspos secara terbuka: menertawakan kematian, bangga akan kehancuran, dan meremehkan mereka yang berempati terhadap para korban.
Rasisme semacam ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan konsekuensi langsung dari sebuah proyek politik yang mendefinisikan dirinya sebagai sebuah etnonegara. Israel digagas dan terus eksis sebagai sebuah negara yang didasarkan pada identitas etnoreligius tertentu.
Ketika sebuah negara mendasarkan legitimasinya pada keanggotaan suatu kelompok—dan bukan pada kesetaraan kewarganegaraan—rasisme berhenti menjadi penyimpangan individu dan menjadi sebuah struktur kekuasaan. Dengan demikian, segregasi, penguasaan wilayah, blokade sumber daya, dan kekerasan militer dibenarkan secara moral sebagai mekanisme untuk melestarikan "bangsa pilihan."
Yang paling meresahkan adalah, tidak seperti rezim totaliter abad ke-20, Zionisme kontemporer beroperasi di siang bolong, secara sadar dan di bawah perlindungan organisasi internasional dan sebagian besar opini publik Barat.
Investigasi (misalnya, oleh Amnesty International dan Human Rights Watch) pada tahun 2025 telah mendokumentasikan pola pengeboman malam hari, penghancuran lingkungan keluarga tanpa kehadiran militer, dan perampasan air, makanan, dan tempat tinggal secara sistematis—menunjukkan praktik hukuman kolektif yang konsisten.
Lebih lanjut, sebuah komisi independen Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan pada bulan September 2025 bahwa "otoritas dan pasukan keamanan Israel telah melakukan dan terus melakukan genosida terhadap warga Palestina di Jalur Gaza."
Pernyataan ini sejalan dengan analisis dari organisasi hak asasi manusia Israel yang mencapai kesimpulan yang sama.
Membicarakan rasisme ini terasa tidak nyaman karena bertentangan dengan narasi yang telah dijaga dengan hati-hati selama beberapa dekade: narasi tentang orang-orang yang selalu menjadi korban. Namun, menjadi korban barbarisme tidak memberikan kebebasan moral untuk mereproduksinya.
Ketika sebuah negara mendefinisikan dirinya berdasarkan superioritas etnis atau spiritualnya, dan ketika masyarakatnya menerima kekerasan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang alami, rasisme berhenti menjadi cacat dalam sistem dan menjadi fondasinya.
Pada akhirnya, rasisme Zionis tidak hanya menghancurkan korbannya—tetapi juga merusak ingatan historis orang-orang yang diklaimnya diwakilinya. Mengubah penderitaan menjadi pembenaran untuk menindas orang lain adalah cara paling tragis untuk mengkhianati sejarah sendiri.
(Sumber: Palestinian Historiographical Research) ***